Suara Karya

Aliansi Pegiat Pendidikan Desak Pemerintah Hentikan Sementara Program MBG

JAKARTA (Suara Karya): Aliansi Pegiat Pendidikan di Indonesia mendesak Pemerintah untuk menghentikan sementara Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program tersebut dinilai melemahkan ekosistem pendidikan dan menimbulkan risiko serius bagi keselamatan anak.

Dalam pernyataan sikap yang dirilis, Selasa (30/9/25) aliansi menyebut program MBG, yang menelan anggaran hingga Rp335 triliun pada 2026, telah memicu ribuan kasus keracunan massal di sekolah.

Catatan mereka menunjukkan setidaknya ada 86.491 kasus keracunan terjadi, sejak program itu bergulir, termasuk insiden besar di Bandung Barat, Sumedang, hingga Banggai Kepulauan yang menyebabkan ratusan siswa dirawat intensif.

“Kasus keracunan ini bukan sekadar angka statistik, tetapi tragedi kemanusiaan. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman, berubah menjadi sumber risiko,” kata Direktur Article 33 Indonesia, Santoso.

Aliansi juga mengkritik tata kelola MBG yang dianggap menambah beban administratif guru dan kepala sekolah. Karena mereka diminta untuk menghitung jumlah makanan, mengawasi distribusi, hingga memastikan siswa menghabiskan jatah makanan.

“Guru diperlakukan seperti pesuruh MBG. Padahal mereka seharusnya fokus pada pembelajaran dan inovasi,” kata Direktur Inspirasi Foundation, Patrya Pratama menambahkan.

Pola pelaksanaan MBG juga dinilai merusak prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sekolah kehilangan kendali dalam pengelolaan, sementara suara guru, orang tua, dan siswa kerap dibungkam agar tidak menyoroti masalah yang muncul.

Aliansi menegaskan tidak menolak program gizi bagi anak, melainkan menolak desain MBG saat ini. Mereka mengusulkan model berbasis sekolah dan komunitas, dengan mencontoh praktik program secama itu di dunia internasional.

Di Brasil, misalkan, 30 persen bahan pangan wajib dari petani lokal dengan pengawasan Dewan Makan Sekolah. Sedangkan di Jepang, ada guru gizi khusus yang merancang menu dan edukasi nutrisi.

Sementara itu, di Finlandia dan Amerika Serikat, pelaksanaannya melibatkan peran orang tua, siswa, dan otoritas lokal dalam pengelolaan. Di India, ada pengawasan komunitas hingga tingkat desa untuk menjamin akuntabilitas.

Aliansi juga meminta audit rutin oleh BPKP, pembentukan sistem aduan yang aman, serta payung hukum khusus agar standar gizi, keamanan pangan, dan transparansi anggaran benar-benar terjamin.

Dalam penutup sikapnya, aliansi menegaskan seruan itu bertujuan menyelamatkan anak dan sekolah dari kerusakan lebih lanjut.

Pernyataan itu ditandatangani oleh 66 tokoh dan organisasi pendidikan, mulai dari Article 33 Indonesia, Inspirasi Foundation, The SMERU Institute, Wahid Foundation, Plan Indonesia, hingga Komnas Pendidikan DKI. (Tri Wahyuni)

Related posts