JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah kelompok masyarakat sipil (CSO) menyerukan agar Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen nyata dalam menghasilkan kesepakatan iklim yang ambisius pada Conference of the Parties ke-30 (COP30) Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang digelar di Belém, Brazil, pada 10-21 November 2025.
Desakan itu disuarakan dalam diskusi bertajuk ‘Drop the COP: Memantau Komitmen dan Menanti Aksi Iklim Indonesia di COP30’ yang diinisiasi oleh Purpose Indonesia, CERAH, Enter Nusantara, Greenpeace Indonesia, Coaction Indonesia, Katadata Green, Climate Rangers Jakarta, dan The Habibie Center, di Jakarta, pada Sabtu (8/11/25).
Diskusi tersebut juga menjadi ajang peluncuran laman Indonesiadicop.id, platform komunikasi publik yang menyediakan informasi terkini mengenai agenda dan kemajuan negosiasi delegasi Indonesia di COP30.
Junior Campaigner Purpose Indonesia, Tsabita Rantawi menjelaskan, perubahan iklim akan berdampak paling parah pada masyarakat sipil. Karena itu, suara masyarakat harus terdengar di forum global seperti COP30.
“Biasanya masyarakat bingung bagaimana menyalurkan suaranya dan mencari informasi terkait isu iklim. Karena itu, Indonesiadicop.id hadir sebagai pusat informasi dan ruang amplifikasi suara masyarakat,” kata Tsabita.
Hal senada disampaikan, Climate and Energy Manager Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik. Ia menilai laman tersebut penting untuk membantu masyarakat memahami dinamika negosiasi COP30, karena isu keadilan iklim belum menjadi prioritas dalam agenda delegasi Indonesia.
“Agenda para delegasi sama sekali tidak menyentuh keadilan generasi, padahal generasi muda akan menjadi pihak yang paling terdampak. Anak muda harus berani bersuara di media sosial, agar bisa mempengaruhi pembuat kebijakan,” tegasnya.
Dari sisi ekonomi, Manajer Kebijakan dan Advokasi Coaction Indonesia, A. Azis Kurniawan menyoroti potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim yang diperkirakan mencapai Rp544 triliun, termasuk gagal panen dan meningkatnya penyakit terkait iklim.

Di sisi lain, mengacu riset pada 2024 disebutkan 39,8 persen anak mudah mengalami eco-anxiety, lantaran mengkhawatirkan dampak krisis iklim pada lingkungan dan ekonomi ke depan.
“Padahal kalau pengambil kebijakan lebih serius, ada beberapa manfaat aksi iklim yang positif, yaitu green jobs. Sehingga tercipta lapangan kerja baru yang dibutuhkan masyarakat saat ini,” tuturnya.
Azis mengingatkan publik agar ikut mengkritisi kebijakan Nationally Determined Contribution (NDC) milik Indonesia.
Peneliti The Habibie Center, Kunny Izza juga menekankan pentingnya aksi individu dalam menghadapi krisis iklim. “Gelombang aksi dari akar rumput perlu terus diperkuat. Aksi kecil bisa berdampak besar, terutama bila dilakukan secara kolektif,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono menilai COP30 harus menjadi momentum atas keseriusan pemerintah dalam menangani krisis iklim.
Karena selama ini, kebijakan iklim dan transisi energi di Indonesia masih belum konsisten dengan komitmen global.
“Ada kesenjangan antara janji di level global dan kebijakan nasional. Misalkan, pemerintah menyampaikan target 100 persen energi terbarukan pada 2035, tapi dokumen seperti RUPTL 2025-2034 masih menempatkan energi fosil sebagai prioritas,” tegasnya.
Untuk itu, Agung mengajak publik bergabung sebagai Delegasi Rakyat Indonesia melalui laman Indonesiadicop.id untuk bersama-sama mendesak pemerintah memperkuat komitmen iklim nasional.
“COP30 seharusnya menjadi ajang bagi Indonesia untuk membuktikan keseriusan menghadapi krisis iklim. Kita semua menanti komitmen yang lebih ambisius dan nyata,” pungkasnya. (Tri Wahyuni)

