JAKARTA (Suara Karya): Program Dana Padanan (Matching Fund) Kedaireka 2024 resmi diluncurkan. Dana yang dialokasikan mencapai Rp750 miliar.
Peluncuran program tersebut dilakukan secara duet oleh Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek), Nizam dan Sesdirjen Diktiristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, di Jakarta, Selasa (17/10/23).
Nizam menjelaskan, pendaftaran Program Dana Padanan Kedaireka dibuka pada oktober 2023, dengan harapan hasil seleksi bisa diumumkan pada awal 2024. Lalu dana bisa dicairkan segera.
Dengan demikian, para peneliti memiliki waktu yang cukup untuk realisasi hasil penelitiannya. “Ini menanggapi keluhan para peneliti yang menyebut minimnya waktu pelaksanaan. Semoga kedepan, tidak ada lagi keluhan semacam itu,” ujarnya.
Nizam menyayangkan hasil Dana Padanan Kedaireka yang memasuki tahun ketiga, tak banyak yang dihilirisasi oleh mitra industri. Hasil penelitian hanya untuk dipamerkan pada acara Hari Pendidikan Nasional. “Setelah itu hasil inovasi tersebut akan masuk ke gudang lagi,” kata Nizam.
Kondisi itu bisa terjadi, menurut Nizam, akibat minimnya kesadaran dunia usaha dan industri (DUDI) untuk berinvestasi dalam Riset and Development (R&D)
“Riset and Development kita masih terendah di Asia Tenggara, bahkan lebih rendah dari Myanmar. Dana riset dan pengembangan baru (risbang) di Indonesia baru mencapai 0,1 persen dari GDP.
“Dari jumlah yang sedikit itu, 74 persen diantaranya berasal dari belanja negara. Jadi industri hanya 6 persen. Padahal, alokasi dana belanja industri untuk iklan 7 kali lipat dibanding belanja untuk R&D. Ini data yang dikeluarkan LIPI 4 tahun lalu,” kata Nizam
Jika dibiarkan, lanjut Nizam, Indonesia akan terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah. Kondisi itu banyak dialami negara-negara di Asia Selatan, Amerika Selatan dan negara di Afrika Utara.
“Tidak ada satu pun negara maju yang tidak mengandalkan pada inovasi. Ekonomi harus berbasis pada inovasi. Itulah kunci untuk menjadi negara maju,” katanya.
Indonesia hingga saat ini masih menjadi ‘tukang jahit”, tukang rakit dengan lisensi impor. “Hal itu terlihat pada industri mobil di Tanah Air, yang hingga kini masih menjadi ‘tukang jahit’.
“Semoga kedepan, SDM Indonesia tak lagi menjadi tukang jahit. Tetapi dengan bangga bisa mengolah sumber daya alam dengan memberi nilai tambah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia,” katanya.
Nizam berharap ‘pernikahan’ kampus dengan DUDI yang saat ini terus digencarkan akan berakhir bahagia. Karena saat ini, jika industri tidak membuat inovasi akan hilang dari peredaran.
“Kasus seperti itu banyak terjadi. Contohnya, Nokia atau Kodak yang hilang dari peredaran karena terlambat berinovasi,” ucapnya.
Lewat skema Dana Padanan Kedaireka, industri diajak untuk menghulukan riset dan inovasi yang dilakukan perguruan tinggi. Industri diajak melakukan inovasi bersama perguruan tinggi.
“Industri punya dana Rp1 miliar, maka kami beri Rp1 miliar juga untuk pengembangan inovasinya. Komitmen industri penting, agar inovasi bisa dikomersialisasikan,” katanya.
Meningkatnya kerja sama perguruan tinggi dengan industri, lanjut Nizam, ternyata mempengaruhi pemeringkatan Indonesia dalam laporan Global Innovation Index. Pada 2020, Indonesia berada di peringkat 88, lalu naik menjadi 61 pada 2023.
“Setelah dicermati indikatornya, ternyata ada kenaikan yang sangat tinggi pada kerja sama kampus dan industri di Indonesia. Pada 2020, kita ada di peringkat 35, lalu naik jadi peringkat 5 pada 2023. Laporan itu bukan Diktiristek atau Kedaireka ya, tapi Global Innovation Index” tuturnya.
Nizam menegaskan, Program Dana Padanan Kedaireka bukan sekadar bagi-bagi uang untuk pembuatan inovasi, tetapi membangun sistem agar industri dalam bekerja berbasis inovasi.
Ditanya soal dana yang diserap dalam Program Matching Fund 2023, Nizam menyebut sekitar Rp500 miliar dari Rp600 miliar yang disiapkan. “Dana tidak terserap semua karena tidak semua proposal bagus. Jadi tidak dipaksakan harus habis,” katanya.
Soal perubahan nama dari Matching Fund menjadi Dana Padanan apakah membawa konsekuensi yang lain, Nizam menegaskan tidak ada. Perubahan itu semata untuk menghormati bahasa Indonesia.
“Awalnya pakai kata Matching Fund karena lebih mudah diingat dan dikenali. Karena sekarang sudah dikenal, maka diubah dalam bahasa Indonesia,” kata Nizam menandaskan. (Tri Wahyuni)
