JAKARTA (Suara Karya): Di era serba digital, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengajak generasi muda untuk mengenal budaya menulis surat dengan tangan (handwriting), lalu mengirimkannya lewat pos dengan menempelkan perangko yang cukup di atas amplop.
“Tradisi surat menyurat bukan sekadar nostalgia, melainkan bagian penting dari literasi budaya yang membentuk cara berpikir, menumbuhkan imajinasi, sekaligus melatih keterampilan menulis tangan,” kata Fadli Zon kepada media, di Jakarta, Jumat (3/9/25).
Pernyataan tersebut disampaikan dalam taklimat media terkait pelaksanaan Lomba Menulis Surat Tingkat Nasional 2024, bertajuk Surat untuk Pahlawan. Lomba akan berlangsung mulai 3 Oktober hingga 3 November 2025.
Hadir dalam kesempatan yang sama, Ketua Panitia Lomba Menulis Surat untuk Pahlawan, Mahpudi; Wakil Ketua Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) Rachmat Asaad Hamid; Pelaksana tugas (Plt) PT Pos Indonesia, Haris; dan segenap jajaran pejabat eselon 1 dan 2 Kementerian Kebudayaan.
Kegiatan lomba tersebut sekaligus memperingati World Post Day, yang jatuh pada 9 Oktober.
Menbud Fadli Zon menambahkan, menulis surat itu tak hanya menyampaikan pesan, tapi juga mengekspresikan imajinasi, menstrukturkan pikiran, bahkan melatih estetika dalam tulisan.
“Di tengah gempuran digital, budaya material seperti surat ini penting untuk tetap kita hidupkan,” ucapnya.
Fadli menegaskan, lomba hanya menerima karya tulis tangan asli, tanpa bantuan kecerdasan buatan (AI). Hal itu untuk melatih generasi muda mengolah pikiran secara mandiri.
Peserta terdiri dari siswa SMP, SMA, hingga mahasiswa. Dipilihnya tema kepahlawanan, karena hasil lomba akan diumumkan pada 10-15 November 2025, bertepatan dengan Peringatan Hari Pahlawan.
“Dengan menulis surat untuk pahlawan, anak-anak muda kita ajak untuk membaca kembali kisah para tokoh bangsa, menghayati nilai kepahlawanan, lalu mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata,” tutur Fadli Zon.
Plt Direktur Utama PT Pos Indonesia, Haris mengatakan, pihaknya siap menjadikan 4.800 kantor pos cabang dan pembantu di seluruh Indonesia sebagai simpul penyebaran informasi lomba, termasuk ke sekolah-sekolah di pelosok.
“Kami akan gaungkan lomba lewat kantor pos, sekolah, kampus, bahkan media sosial. Kami juga menyiapkan kembali kotak pos (PO Box) agar anak-anak merasakan pengalaman menulis dan mengirimkan surat secara langsung,” ujarnya.
Pos Indonesia berharap lomba ini menjadi pintu masuk untuk mengenalkan kembali layanan pos, prangko, hingga filateli kepada generasi digital.
Sementara itu, Wakil Ketua PFI, Rachmat Asaad Hamid menjelaskan, hobi mengoleksi prangko dan benda pos (filateli) bukan sekadar kegiatan mengumpulkan, tetapi juga bagian penting dari jejak sejarah dan kebudayaan bangsa.
“PFI ini sudah berusia lebih dari 100 tahun. Didirikan sejak masa kolonial Belanda. Filateli lahir bersamaan dengan berkembangnya budaya surat-menyurat. Sejak prangko pertama kali terbit dan dipakai untuk mengirim surat ke seluruh dunia, orang mulai tertarik mengoleksinya,” tuturnya.
Ia mengenang masa ketika komunikasi hanya bisa dilakukan lewat surat, jauh sebelum hadirnya telepon apalagi ponsel. Bahkan kebutuhan kiriman uang sekolah pun dilakukan melalui wesel. Sehingga kantor pos menjadi pusat interaksi penting masyarakat saat itu.
“Itu sebuah transformasi budaya yang luar biasa, karena surat bukan hanya pesan, tapi juga kenangan yang bisa disimpan,” tambahnya.
Berbeda dengan pesan instan lewat gawai yang hilang begitu saja, surat dan kartu pos masih bisa dipegang, dikoleksi, serta diceritakan kembali. Dalam dunia filateli, koleksi prangko tidak hanya dikumpulkan berdasarkan gambar, tetapi juga disusun dalam tema tertentu.
Saat ini ada 11 kategori filateli, mulai dari tradisional hingga tematik, yang diperlombakan di tingkat nasional hingga dunia.
“Menyiapkan koleksi untuk lomba itu lebih sulit dari menulis skripsi. Bukan hanya membuat cerita, tapi juga harus membuktikan dengan benda filateli asli dari masa ke masa,” katanya.
Meski jumlah penggemar filateli dari generasi muda semakin berkurang, semangat pelestarian budaya surat masih terus dijaga. “Surat, kartu pos, dan prangko adalah warisan budaya yang tak tergantikan, karena menyimpan memori dan cerita sejarah yang tidak bisa diberikan oleh pesan instan,” tegasnya.
Terkait lomba, Mahfudi menjelaskan,
persyaratan lomba antara lain, surat ditulis tangan/handwriting, menggunakan pena bertinta hitam/biru, pada selembar kertas putih, berbahasa Indonesia, dan merupakan karya asli yang belum pernah dipublikasikan
“Informasi lengkap terkait lomba bisa diakses melalui laman https://lombamenulissurat.com/. Termasuk besaran hadiah bagi pemenang lomba,” ujarnya.
Mahfudi menambahkan, setiap kategori akan dipilih masing-masing 5 pemenang. Total hadiah bagi pemenang sebesar Rp85 juta. Itu belum termasuk uang pembinaan. (Tri Wahyuni)