JAKARTA (Suara Karya): Perkembangan film nasional saat ini menunjukkan tren yang sangat positif. Hingga akhir Oktober 2025, Lembaga Sensor Film (LSF) telah menerbitkan 239 Surat Tanda Lulus (STL) sensor untuk film nasional dan memproyeksikan total tahun ini akan melampaui 285 judul film.
“Ini merupakan angka tertinggi dalam sejarah modern perfilman Indonesia. Sebelumnya, rata-rata 170 judul film setiap tahunnya,” kata Ketua LSF, Naswardi dalam acara Nonton Bareng (Nobar) film Keadilan (The Verdict) di XXI, Plaza Senayan, Jakarta, pada Selasa (25/11/25).
Hadir dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP), Arya Shandiyuddha Pratama, pemain film Keadilan (The Verdict), yaitu Reza Rahardian dan Adam Farrel, serta jajaran pejabat di lingkungan LSF.
Kegiatan nobar film nasional merupakan bagian dari sosialisasi ‘Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri’ yang mengajak masyarakat untuk memperhatikan klasifikasi usia saat akan menonton film, baik di bioskop maupun konten digital berbayar.
“Literasi film adalah kunci. Menonton sesuai usia adalah bagian dari kecerdasan berbudaya. Karena itu kami terus mengajak publik untuk lebih bijak dalam memilih tontonan,” katanya.
Naswardi menegaskan, LSF yang sekarang berbeda dibanding LSF di masa lalu, yang dikenal kalangan film sebagai ‘tukang jagal’. LSF sskarang mengedepankan budaya sensor mandiri dan menjadikan industri film sebagai mitra strategis dalam memajukan perfilman nasional.
“Hari ini tidak ada lagi potong-memotong film secara sepihak. Semua dikembalikan kepada sineas. LSF hanya memberi klasifikasi usia, bukan mengubah isi film,” ucapnya.
Menurut Naswardi, perubahan kebijakan tersebut menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan adil bagi sineas. Adegan yang ingin dipertahankan oleh pembuat film tetap boleh ditayangkan, dengan penyesuaian pada klasifikasi usia yang sesuai.
Naswardi juga mengungkap fenomena orangtua yang membawa anak-anaknya saat menonton film dewasa di bioskop. Meski anak dipakaikan headset, namun secara visual, banyak film yang tidak cocok untuk anak.
“Sensor mandiri penting agar kejadian-kejadian seperti itu tidak terulang lagi,” kata Naswardi menegaskan.
LSF menargetkan 11.500 penonton terlibat dalam program sosialisasi Budaya Sensor Mandiri sepanjang 2025. Salah satu strateginya adalah menggandeng film-film nasional yang sedang tayang.
“Kami ingin mendekatkan layar dengan penonton. Apresiasi penonton terhadap film nasional harus semakin tinggi,” tegasnya.
Dalam sesi diskusi, Reza menjelaskan, film Keadilan merupakan proyek unik, karena disutradarai oleh dua sutradara sekaligus, yakni Indonesia dan Korea Selatan.
“Ini mungkin kolaborasi pertama antara sutradara Korea dan Indonesia. Di lokasi kami punya kendala bahasa, selalu harus pakai translator. Tetapi secara teknis semua teratasi dengan pembagian tugas yang jelas,” tuturnya.
Menurut Reza yang kini menggeluti dunia sutradara, dinamika lintas budaya justru memperkaya proses keaktoran dan membuat nuansa film Keadilan menjadi lebih kuat.
Tentang Keadilan, Reza menilai film tersebut memiliki posisi penting karena mengangkat tema sensitif mengenai hukum, kekuasaan, dan ketidakadilan.
“Saya senang bisa terlibat dalam film yang cukup berani berbicara mengenai apa yang terjadi ketika hukum tidak adil. Ini film yang bicara dari sudut pandang mereka yang lemah saat berhadapan dengan kekuasaan,” ujar Reza.
Karakter lawyer yang dimainkan Reza, membawanya memahami kembali prinsip dasar praduga tak bersalah serta dilema moral dalam sistem peradilan.
Reza mengungkapkan, syuting film Keadilan dilakukan di Indonesia. Eksterior pengadilan diambil di Jakarta Utara. Sedangkan interior ruang sidang dibangun khusus di studio.
“Kami bangun set ruang sidang dari nol. Sungguh luar biasa,” kata Reza disambut tepuk tangan penonton.
Meski kerap memuji transformasi yang dilakukan LSF, Reza menyampaikan satu catatan terkait penyamaan standar antara film lokal dan film asing.
“Kadang saya bertanya, film Indonesia kategori 13 itu seperti ini, tapi film asing dengan adegan tertentu kok bisa masuk klasifikasi 13. Itu mungkin bisa jadi diskusi internal di LSF,” katanya.
Reza berharap, standar klasifikasi usia terus diperbarui mengikuti perkembangan zaman dan paparan media pada generasi muda.
Dibagian akhir pembicaraannya, Reza mengajak publik untuk terus mendukung film Indonesia dengan cara menonton di bioskop.
“Film seperti Keadilan penting untuk ditonton, terutama oleh mereka yang sudah bisa mencerna isu hukum dan keadilan. Saya berharap semakin banyak film Indonesia yang berani mengungkap kebenaran,” kata Reza menandaskan. (Tri Wahyuni)

