Suara Karya

Ikuti Tantangan ‘Direktur Mengajar’, Putra Asga Elevri Sempat Alami ‘Dejavu’

BOGOR (Suara Karya): Jelang peringatan Hari Guru Nasional, Ditjen Guru, Tenaga Kependidikan dan Pendidikan Guru (GTKPG), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) membuat tantangan kepada para pejabat eselonnya untuk mengajar di kelas, sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi terhadap guru.

Tantangan tersebut diterima Direktur Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus (PMPK), Putra Asga Elevri dengan senang hati karena memiliki pengalaman mengajar di masa lalu. “Saat diri di depan kelas, bahkan saya sempat mengalami dejavu. Kembali ke era saya aktif mengajar di bimbel Primagama sekitar 10 tahun lalu,” kata pria asal Minang tersebut.

Meski latar belakang pendidikannya teknik kimia, pria yang akrab disapa Asga tersebut justru menyiapkan materi pembelajaran terkait mental health (kesehatan mental). Karena isu tersebut tengah hangat di kalangan pelajar.

Asga tidak menyangka, apa terjadi di kelas justru kebalikan dari ekspektasinya. “Isu kesehatan mental itu besar sebenarnya. Tapi di Bogor, tadi saya sama sekali tidak merasakan itu. Interaksi siswa sangat natural, antusias, mau mencoba, dan tidak takut salah,” ungkapnya.

Ia memberi siswa soal-soal berpikir kritis dengan tingkat kesulitan cukup tinggi. Yang mengejutkan, bukan hanya mereka mau mencoba, tapi mereka menikmati tantangannya. Dua soal terakhir yang diberikan bahkan dijawab benar, setelah mengalami beberapa kali perbaikan.

“Yang paling menarik itu bukan soal bisa menjawab atau tidak, tetapi mereka mau belajar dari kesalahan. Saya kasih beberapa petunjuk, dan akhirnya mereka bisa. Itulah proses belajar,” ujarnya.

Soal latar belakang pendidikannya,
Asga menyebut dirinya bagian dari Himasaju (Himpunan Mahasiswa Salah Jurusan). Ia memilih program studi kimia untuk memenuhi permintaan ayahnya, yang ingin anaknya kuliah di bidang eksakta.

“Meski tidak suka kimia, saya lulus dengan nilai yang baik. Begitupun saat ambil S2, lagi-lagi saya ambil kimia sebagai syarat agar mendapat restu ayah untuk menikah,” ucap Asga sambil tertawa lebar mengenang masa lalu.

Meski tidak begitu suka prodi kimia, Asga mengaku suka berada di kampus sebagai aktivis mahasiswa. Karena itu gayanya mengajar berbeda dari guru biasanya. Alih-alih menebar banyak teori, Asga malah banyak melontarkan beragam pertanyaan, yang mengajak siswa untuk berpikir kritis.

“Kebiasaan berpikir kritis inilah yang membantu saya di dunia kerja, ketika diminta atasan membuat regulasi dan kebijakan. Termasuk saat diminta Mendikdasmen Abdul Mu’ti untuk merumuskan materi 7 Jurus BK Hebat,” tuturnya.

Bagi Asga, pendidikan karakter bukan milik guru BK semata. Ia mendorong agar seluruh guru, apapun mata pelajarannya punya kemampuan memahami emosi anak, membangun resiliensi, dan menciptakan komunikasi yang utuh.

“Anak sekarang itu bukan pendengar yang baik, tapi peniru yang jenius,” kata Asga mengutip pernyataan Kak Seto. “Kalau kita hanya memberi nasihat, mereka nggak dengar. Tapi kalau kita beri contoh, beri ruang, beri empati, maka mereka tumbuh.”

Saat berdiri di depan siswa kelas X di SMAN 7 Bogor, Asga sebenarnya tidak sekadar mengajar. Ia menguji konsep-konsep yang selama ini ia dorong di tingkat nasional, mulai dari deep learning, coding berbasis KA, 7 Jurus BK Hebat. Semua ia coba padatkan dalam interaksi nyata, bukan hanya modul.

“Yang saya berikan ke siswa di kelas itu baru separuh dari materi yang saya siapkan. Karena siswa tertarik, saya jadi tertantang. Kalau tidak, mungkin saya masuk ke materi yang lebih emosional, tapi saya sisipkan saja ke tantangan soal,” terangnya.

Ia sadar bahwa teknologi, termasuk AI (kecerdasan buatan) telah masuk ke ruang belajar. Namun ia yakin satu hal, yaitu karakter tak bisa digantikan AI. “Empati, imajinasi, kreativitas, itu tetap milik manusia,” ucapnya.

Ketika ditanya kapan terakhir kali ia mengajar, Asga menjawab pada 2014. Saat itu ia sudah menjabat kepala seksi, namun masih menyempatkan diri mengajar. “Tantangannya beda, tapi rasanya sama,” katanya.

Dan hari ini, Putra Asga Elevtri membuktikan sendiri bahwa seorang guru tidak pernah benar-benar berhenti menjadi guru.

Jabatan boleh tinggi, ruangan kantor boleh besar, tetapi begitu berdiri di depan murid, seseorang kembali ke akar, yaitu membimbing, memberi ruang salah, lalu merayakan kemajuan kecil. “Ini menarik buat saya, seperti pulang ke ‘rumah’,” ujarnya. (Tri Wahyuni)

Related posts