JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) akan terus mendorong perguruan tinggi untuk mengoptimalisasikan Science Techno Park (STP) menjadi ‘mesin’ pertumbuhan ekonomi melalui riset dan inovasi.
“STP harus bisa menjadi sarana untuk menghasilkan ‘spin-off’ yang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek) Kemdikbudristek, Nizam dalam diskusi publik bertajuk ‘Strategi Optimalisasi STP di Perguruan Tinggi’, di Jakarta, Jumat (8/3/24)
Diskusi yang digelar secara hibrida menampilkan pembicara, yaitu
Prof Dr Erika B Laconi dari STP IPB; Surya Nugroho PhD dari STP ITB; Prof Dr Sang Kompiang Wirawan dari STP UGM; Prasandhya Astagiri Yusuf PhD dari STP UI; dan Marina Kusumawardhani dari MIT REAP Java.
Selain itu ada perwakilan diaspora Fauzan Adziman PhD dari Oxford University; Prof Irwandi Jaswir PhD dari IIUM Kuala Lumpur; Prof Juliana Sutanto PhD dari Monash University; Prof Vincentius Adi PhD dari National Chung Hsing University.
Nizam meminta pengelola STP di perguruan tinggi untuk membangun jaringan global, yang bisa dimulai dari sesi daring dengan perwakilan dari kampus duni seperti Oxford, Edinburgh, Stanford, dan lainnya.
“Mari kita kembangkan ekosistem di mana generasi milenial yang berkembang bersama Science Techno Park di berbagai perguruan tinggi untuk saling terhubung mengembangkan spin-off kampus,” kata Nizam menegaskan.
Untuk perguruan tinggi yang belum punya STP, menurut Prof Dr Sang Kompiang Wirawan bisa dimulai dari membuat riset yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
“Kita harus memperkuat ‘dapur’ lebih dulu, baru membuat bangunannya, yaitu STP. Karena STP ini bukan sekadar bangunan, tetapi ‘way of life’ dari perguruan tinggi,” ucap Prof Kompiang.
Karena itu, lanjut Prof Kompiang, pentingnya membangun kesadaran di kalangan internal kampus bahwa riset yang dihasilkan harus dapat diaplikasikan. “Jadi bukan sekadar riset, tetapi riset itu harus berdampak terhadap perekonomian Indonesia,” katanya.
Hasil pengamatan Prof Kompiang di Malaysia, negara jiran tersebut seperti Indonesia dalam penerapan hasil risetnya. “Baru sekitar 23 persen riset yang dihasilkan perguruan tinggi di Malaysia yang diterapkan industri. Sisanya berakhir di jurnal-jurnal, perpustakaan dan laporan riset lainnya,” ucapnya.
Sedangkan di Korea dan Jepang, penerapan hasil risetnya sudah sekitar 80 persen. “Ini tantangan bagi kita semua, bagaimana hasil riset kita bisa dihilirkan. Untuk itu, membentuk ekosistem menjadi hal yang utama,” ujarnya.
Hal senada dikemukakan Marina Kusumawardhani dari MIT REAP Java. Pengalamannya selama di Amerika Serikat, pengembangan STP banyak dilakukan pemerintah daerah dibanding perguruan tinggi.
“STP di MIT, Cambridge itu baru dibangun sekitar 5 tahun lalu. Sedangkan STP yang dikembangkan kota sudah puluhan tahun lalu,” katanya.
Pengembangan STP di MIT, lanjut Marina banyak didominasi Kementerian Pertahanan. Produk yang dihasilkan berupa alat-alat intelijen, persenjataan dan cyber security,” ucapnya.
Ditanya kehadiran STP akan melahirkan banyak enterpreuner dari kalangan mahasiswa, hal itu dimungkinkan. Karena menjadi enterpreuner butuh spirit tersendiri, yang tidak semua mahasiswa punya.
“Mahasiswa bisa memanfaatkan STP sebagai sarana untuk mengasah jiwa wirausahanya. Karena banyak produk inovasi di STP yang bisa dihilirisasi. Tinggal didukung saja,” katanya.
Marina menambahkan, pemerintah Amerika sangat mendukung kalangan muda yang ingin menjadi enterpreuner. Caranya, membuat regulasi untuk melindungi harta pribadi agar tidak bisa disita jika bisnisnya bangkrut.
“Kalau di Indonesia kan harta pribadi bisa disita jika bisnis ambruk. Di Amerika tidak bisa. Harta pribadi terlindungi. Jika bisnisnya bangkrut, mereka tidak kapok,” kata Marina menandaskan. (Tri Wahyuni)

