Suara Karya

Kemdikbudristek Dorong Guru Ikuti Pelatihan Mandiri Pendidikan Inklusif lewat PMM

JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) melakukan terobosan dalam penciptaan guru pembimbing anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi.

Terobosan itu berupa pelatihan mandiri lewat modul pendidikan inklusif di Platform Merdeka Mengajar (PMM). Platform digital tersebut bisa diakses guru secara online. Sehingga makin banyak guru yang memiliki kompetensi dalam pendidikan inklusif.

“Pelatihan mandiri itu penting, karena kita sedang kekurangan guru pembimbing khusus di sekolah inklusi,” kata Koordinator Pokja Pendidikan Inklusif, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemdikbudristek, Meike Anastasia dalam media gathering Kemdikbudristek dengan Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik), di Jakarta, Senin (1/4/24).

Meike menyebut data Kemdikbudristek per Desember 2023, dari 40.164 sekolah inklusi yang ada di Indonesia, baru sekitar 14,8 persen yang memiliki guru pembimbing khusus. “Kondisi ini membuat penerapan kebijakan sekolah inklusi menjadi kurang optimal,” ucapnya.

Untuk itu, Kemdikbudristek mengembangkan kebijakan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif. Program tersebut diharapkan menghasilkan guru yang memiliki kompetensi dalam pendidikan inklusif.

Pelatihan Mandiri di Platform Merdeka Mengajar dapat diakses melalui https://guru.kemdikbud.go.id/pelatihan-mandiri/topik/115.

Adapun skema pelatihannya, Meike menjelaskan, pada tingkat dasar guru memiliki paradigma tentang pendidikan yang berpihak kepada semua murid termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Di tingkat lanjut, guru diharapkan mampu untuk memfasilitasi pembelajaran untuk semua siswa, termasuk siswa berkebutuhan khusus. Sedangkan di tingkat mahir, guru diharapkan dapat berperan sebagai konsultan dalam pengembangan pembelajaran dan advokasi pendidikan inklusif.

Melalui kebijakan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif, Mieke yakin persoalan kekurangan guru pembimbing khusus di sekolah inklusi bisa diatasi. Sehingga tidak ada lagi anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat mengakses pendidikan formal, dengan alasan tidak memiliki guru pembimbing khusus.

Saat ini, Meike menambahkan, hanya 64 persen anak penyandang disabilitas yang bersekolah. Alasannya, antara lain masalah biaya, learned helplessness, dan penolakan dari sekolah. “Penolakan sekolah umumnya karena tidak punya guru pembimbing khusus,” ucapnya.

Hal senada dikemukakan Tenaga Ahli Bidang Pendidikan Inklusif, Kemdikbudristek, Tita Srihayati. Katanya, meski Kurikulum Merdeka selaras dengan prinsip inklusivitas, namun kenyataannya tidak semua sekolah dapat memberi ‘teaching at the right level’ dan pembelajaran berdiferensiasi untuk semua peserta didik.

“Melalui kebijakan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif, diharapkan tidak ada lagi penolakan sekolah terhadap siswa berkebutuhan khusus,” tuturnya.

Dengan demikian semua anak berkebutuhan khusus mendapat hak pendidikannya, sesuai dengan amanah undang-undang. Mereka tidak harus sekolah di SLB yang jumlahnya sangat terbatas.

“Dalam satu rombongan belajar, maksimal ada 3 siswa berkebutuhan khusus. Jumlah itu disesuaikan dengan kemampuan guru pendamping khusus di lapangan,” kata Tita.

Meski semua anak berkebutuhan khusus berhak mengakses pendidikan inklusi, tetapi ada kriteria anak berkebutuhan khusus yang bisa berbaur dalam kelas reguler sekolah inkusi.

“Hal itu juga demi kenyamanan siswa lainnya di sekolah formal tersebut,” ucapnya menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts