Suara Karya

Kemdiktisaintek Kenalkan Program ‘Living Lab’ agar Riset Tak Berhenti di Laboratorium

JAKARTA (Suara Karya): Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi (Minat Saintek), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdiktisaintek) tengah menyiapkan program ‘Living Lab’, sebuah terobosan agar riset tidak berhenti di laboratorium, melainkan tumbuh di tengah masyarakat.

Direktur Minat Saintek, Yudi Darma menjelaskan, selama ini riset kerap terjebak di balik tembok laboratorium, jauh dari persoalan nyata masyarakat. Karena itu, melalui Living Lab, pemerintah ingin menghadirkan kolaborasi erat antara peneliti, masyarakat, dan industri.

“Kita ingin kegiatan saintek tidak lagi terbatas oleh ruang dan alat di laboratorium. Masyarakat harus merasa memiliki laboratorium itu,” kata Yudi dalam diskusi media, yang digelar bersama Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik), Jakarta, Jumat (3/10/25).

Narasumber lain dalam diskusi tersebut adalah Dosen Sastra Inggris Universitas Negeri Malang, Evi Eliyanah; serta Dosen dan Sejarawan dari Monash University, Luthfi Adam.

Yudi Darma menjelaska , pendekatan baru tersebut akan membuka ruang partisipasi publik dalam proses penelitian. Karena masyarakat bukan sekadar penerima hasil riset, tetapi juga sumber inspirasi, sekaligus rekan kolaborasi dalam menemukan solusi atas persoalan yang dihadapi.

“Gerakan penelitian seharusnya muncul dari masyarakat. Masalah yang ada di publik dibawa ke laboratorium untuk dicarikan solusinya,” ujarnya.

Yudi juga menyoroti fakta, banyak produk riset gagal dihilirisasi karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Situasi ini bahkan memicu rasa frustrasi di kalangan peneliti. “Dengan keterlibatan masyarakat sejak awal, maka arah riset akan lebih relevan dan berdampak nyata,” tegasnya.

Hal senada dikemukakan Dosen Sastra Inggris Universitas Negeri Malang, Evi Eliyanah. Menurutnya, Program Living Lab akan efektif jika menerapkan prinsip co-kreasi, di mana masyarakat terlibat aktif sejak tahap perencanaan hingga evaluasi hasil riset.

“Selama ini masyarakat hanya jadi penerima produk riset. Dengan co-kreasi, mereka ikut memetakan masalah sejak awal dan ikut mengembangkan solusinya,” ucapnya.

Ia menegaskan, Living Lab bukanlah kegiatan singkat seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang hanya berlangsung beberapa minggu. Tetapi ruang berkelanjutan yang mengikat peneliti, masyarakat, dan industri dalam siklus kolaborasi jangka panjang.

Selain kolaborasi praktis, Yudi Darma juga berharap Living Lab dapat menumbuhkan budaya berpikir ilmiah di tengah masyarakat. Dengan begitu, publik tak sekadar menjadi objek penelitian, tetapi juga mitra diskusi dalam memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

“Kalau masyarakat sudah paham, mereka bisa berdiskusi bahkan berdebat dengan para saintis. Itu yang kita harapkan,” tutur Yudi.

Sejarawan dari Monash University, Luthfi Adam mempertegaskan pentingnya komunikasi antara peneliti dan masyarakat agar dunia riset tidak berjalan sendiri.

“Saintis memang ahli di bidangnya, tapi masyarakat adalah pihak yang paling dekat dengan persoalan nyata. Karena itu, mereka seharusnya menjadi informan utama bagi peneliti,”kata Luthfi.

Yudi Darma berharap, lewat program Living Lab, batas antara laboratorium dan kehidupan sosial akan semakin kabur. Peneliti bisa belajar dari masyarakat, sementara masyarakat mendapat ruang untuk mengembangkan solusi berbasis ilmu pengetahuan.

“Kita ciptakan bukan hanya interaksi, tapi juga keberlanjutan. Supaya hasil riset benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” pungkas Yudi. (Tri Wahyuni)

Related posts