Suara Karya

Investasi Jakarta Masih Terhambat Tingginya ICOR, Ekspor ke AS Terancam Tarif Resiprokal

JAKARTA (Suara Karya): Meskipun ekonomi Jakarta menunjukkan prospek pertumbuhan yang solid pada triwulan II 2025, Bank Indonesia menyoroti dua tantangan utama yang berpotensi menahan laju pemulihan ekonomi ibu kota, seperti rendahnya efisiensi investasi dan risiko penurunan ekspor akibat tarif resiprokal Amerika Serikat.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta, Arlyana Abubakar, dalam Bincang Bincang Media (BBM) di Jakarta, Kamis (8/5/2025) mengungkapkan bahwa investasi di Jakarta belum sepenuhnya pulih ke level sebelum pandemi.

Salah satu indikator yang menunjukkan lemahnya efisiensi investasi adalah nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Jakarta yang mencapai 7,86 pada 2023, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 6,33.

“Tingginya ICOR menunjukkan bahwa investasi yang dilakukan belum menghasilkan output ekonomi yang optimal. Ini menggambarkan efisiensi investasi yang masih rendah,” ujar Arlyana.

Ia juga menambahkan bahwa penurunan produktivitas tenaga kerja semakin menambah tekanan terhadap proses pemulihan ekonomi Jakarta.

Selain tantangan domestik, Arlyana juga menyoroti risiko eksternal yang kini mengemuka, yakni pengenaan tarif resiprokal oleh pemerintah AS sebesar 32% terhadap produk dari Indonesia, termasuk dari Jakarta.

“AS adalah salah satu mitra dagang utama Jakarta. Tarif resiprokal ini jelas akan menekan kinerja ekspor Jakarta,” ujarnya.

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa ekspor Jakarta ke AS masih tumbuh signifikan pada triwulan I 2025, yakni sebesar 93,50% (yoy), meskipun melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencatat lonjakan hingga 257,39% (yoy). Komoditas utama yang diekspor ke AS antara lain alas kaki, ikan dan udang, barang rajutan, pakaian jadi, serta kendaraan dan suku cadangnya.

Arlyana menjelaskan bahwa meskipun pengenaan tarif berpotensi menghambat ekspor, peluang tetap terbuka karena tarif terhadap Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara pesaing.

“Ini adalah peluang strategis bagi pelaku ekspor, terutama untuk komoditas unggulan seperti tekstil dan alas kaki, yang pangsa impornya di AS masih relatif rendah dibandingkan kompetitor,” jelasnya.

Dengan kondisi tersebut, ia menekankan pentingnya reformasi struktural dan kebijakan perdagangan yang adaptif agar Jakarta mampu menjaga daya saing dan menarik lebih banyak investasi berkualitas. (Boy)

 

Related posts