JAKARTA (Suara Karya): Tanoto Foundation (TF) berkolaborasi dengan SDG Academy Indonesia mengajak kaum muda untuk melakukan aksi nyata atas isu-isu dalam Sustainable Development Goals (SDG’s), seperti dampak perubahan iklim.
“Anak muda yang hidup saat ini akan menjadi pemimpin Indonesia di masa depan. Karena itu, kami ajak mereka untuk melakukan ‘climate action’ agar bumi kita tetap terjaga kelestariannya,” kata Head of Leadership Development & Scholarship Tanoto Foundation, Michael Susanto di Jakarta, Kamis (30/3/23).
Pernyataan itu disampaikan Michael dalam acara bertajuk ‘SDG Powerhouse: Youth March for Climate, Starts with Me’ yang menampilkan dua narasumber dari kalangan muda, yaitu pendiri dan CEO Carbon Addons, Muhammad Naufal dan Grow TSA (Tanoto Scholars Association) ITB, Graciella Valeska Liander.
Sekadar informasi, SDG Academy Indonesia merupakan lembaga bentukan TF bersama Bappenas dan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk membangun kesadaran masyarakat terkait program SDG’s dan bagaimana solusinya.
“SDG Academy menjadi wadah bagi kaum muda Indonesia untuk berpartisipasi dalam program SDG’s. Praktik baik yang didapat akan menjadi dasar untuk membantu pemerintah dalam mencapai target SDG’s,” tutur Michael.
Kaum muda yang dilibatkan dalam Program SDG Powerhouse, antara lain mahasiswa penerima program beasiswa TELADAN (TSA), yang sedang dijalankan TF bersama 10 perguruan tinggi terbaik di Indonesia.
“Para TSA akan turun ke desa-desa untuk menganalisa dan mengidentifikasi masalah sosial yang ada, lalu mencari solusinya. Ide itu melibatkan masyarakat desa agar solusi yang dijalankan berkelanjutan,” kata Michael.
Karena itu, lanjut Michael, TELADAN tak sekedar memberi beasiswa tetapi juga memiliki program kepemimpinan yang cukup komprehensif. Diharapkan, mereka bisa menjadi agen perubahan di masyarakat terkait isu-isu SDG’s.
“Setiap tahun, TSA didorong untuk mencari masalah yang ada di desa atau lingkungan sekitar, lalu merancang solusinya. Kami juga minta mereka untuk berpikir secara ‘independent’ termasuk bagaimana melakukan solusinya ,” tutur Michael.
Disinggung soal bantuan dana, Michael mengatakan, besarannya tergantung proposal yang diajukan. Sebelumnya, mahasiswa diajarkan membuat proposal yang efektif dan efisien.
“Mereka juga diajarkan bagaimana berkolaborasi dengan banyak pihak agar dampaknya lebih luas dan berkelanjutan,” ucap Michael.
Soal aksi nyata, Graciella Valeska Liander dari Grow TSA ITB menjelaskan, pihaknya lebih dulu membuat surat undangan terbuka untuk mahasiswa ITB lintas jurusan yang mau bergabung dalam aksi nyata terkait iklim (climate action).
“Ada sekitar 40 mahasiswa ikut dalam proyek ini. Karena lintas jurusan, kami buat tiga aksi nyata yaitu pengolahan pupuk organik, penanaman singkong dan membuat penerangan jalan umum (PJU) dari tenaga surya,” katanya.
Graciella menambahkan, setiap tim mendapat dana Rp5 juta untuk realisasi masing-masing proyek. Agar aksi berkelanjutan, pihaknya juga bekerja sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
“Proyek dilaksanakan 1 hari, kecuali PJU karena harus menunggu adukan semen kering lebih dulu. Meski singkat, kami bekerja sama dengan pengurus BPD untuk memantau perkembangan proyeknya,” kata Graciella.
Ditanya apakah proyek serupa akan dilakukan di desa lain, Graciella mengatakan, hal itu akan dilakukan TSA yang lain. Karena setelah proyek selesai, dirinya tak lagi jadi pengurus.
“Saya juga harus konsentrasi menyelesaikan tugas akhir sebagai sarjana di kampus,” kata mahasiswa program studi teknik informasi ITB tersebut menandaskan. (Tri Wahyuni)

