Suara Karya

Menkumham: Banyaknya Napi Kasus Narkoba Jadi Penyebab Kelebihan Kapasitas

JAKARTA (Suara Karya): Penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) pada 2018 sebanyak 256.273 orang. Jumlah tersebut, dinilai sudah melebihi kapasitas (over capacity) lapas dan rutan di Indonesia yang hanya untuk 126.164 orang.

Demikian dikemukakan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan, kepada wartawan, di gedung Kemenkumham, Jakarta, Kamis (27/12/2018).

Kelebihan kapasitas ruang tahanan tersebut, kata Yasonna, sebagai akibat dari banyaknya narapidana kasus narkoba. Dengan demikian, warga binaan saat ini dua kali lipat dari kapasitas lapas dan rutan seharusnya.

“Kalau kita bicara kelebihan kapasitas secara nasional itu 100 persen. Mengapa itu terjadi? Ada beberapa penyebab. Salah satunya, angka napi narkoba itu sangat besar sekali,” katanya.

Menurut dia, jumlah penghuni lapas dan rutan tahun 2018, meningkat sebanyak 24.193 dibanding jumlah penghuni pada 2017, yakni 232.080. Sementara setiap tahunnya peningkatan jumlah penghuni lapas dan rutan rata-rata 22.000 pertahun.

Berdasarkan catatan akhir tahun Kemkumham, penambahan narapidana khusus untuk 2018 sebanyak 5.110 napi korupsi, 74.037 bandar narkoba, 41.252 napi narkoba pengguna, 441 napi teroris, 165 pencucian uang dan 890 pelaku illegal logging.

Untuk itu, Yasonna menyatakan perlunya dilakukan evaluasi dan pembenahan terhadap penanganan narapidana kasus narkotika. Ditegaskan Yasonna, napi kasus penggunaan narkoba seharusnya ditangani melalui rehabilitasi, bukan ke lapas. Sementara bandar narkoba harus dihukum berat.

“Itu yang saya katakan. Harus ada pemikiran kita mengevaluasi tahanan pada narkoba. Pemakai itu harus direhabilitasi. Jangan masukin ke dalam (lapas). Harus ada perubahan paradigma dari para pemakai, bandar-bandar harus dihukum berat,” katanya.

Dipaparkan, pengguna narkoba dijebloskan ke dalam lapas justru membawa efek yang lebih buruk. Lantaran ketergantungan narkoba, mereka akan membujuk dan memperdayai petugas lapas dan rutan.

“Merokok saja untuk menghentikannya sulit apalagi narkoba. Itu persoalannya. Maka saat mereka masuk ke dalam akan berusaha memperdaya petugas,” ungkapnya.

Untuk itu, Yasonna meminta Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan untuk bekerja sama mengembangkan dan memperbaiki fasilitas rehabilitasi. Selain itu, Yasonna juga meminta seluruh kementerian dan lembaga terkait termasuk masyarakat secara umum untuk terus berkampanye secara nasional mengenai bahaya narkoba, terutama kepada generasi muda.

“Harus ada kampanye itu karena pengaruhnya di kita. Kami tidak bisa menolong kalau polisi terus menangkapi dan memasukkan (pengguna narkoba ke penjara),” katanya. (Gan)

Related posts