Suara Karya

Paparkan 10 Isu Krusial, PGRI: Kebijakan Terkait Pendidikan Harus Berbasis Guru!

JAKARTA (Suara Karya): Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi menyebut 10 isu krusial terkait dunia pendidikan di Indonesia. Sayangnya kebijakan yang dibuat tidak berbasis guru.

“Guru sering disalahkan ketika kualitas pendidikan kita jalan di tempat. Padahal ada regulasi yang salah disitu. Kebijakan pendidikan kita belum berpihak pada guru,” kata Unifah Rosyidi dalam konferensi kerja nasional (konkernas) Tahun 2025, di Jakarta, Selasa (11/2/25).

Hadir pula Ketua Komisi IV DPR RI yang juga penyandang gelar Ibunda Guru Indonesia, Titiek Soeharto dan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Periode 1993-1998, Wardiman Djojonegoro.

Menurut Unifah, kebijakan pendidikan seharusnya berpihak pada guru. Semakin berkualitas kebijakan terhadap guru, maka semakin baik pula mutu pendidikan Indonesia.

“Selama dua dekade terakhir, kualitas pendidikan Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Hal itu terlihat dari berbagai ukuran internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study), yang terkait daya saing bangsa belum menunjukkan hasil yang menggembirakan,” ujarnya.

Ditambahkan, guru adalah ujung tombak dalam melakukan perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan. Karena itu, peran guru harus diperkuat, diberdayakan dan diberikan otonomi. “Jangan sampai saat ada persoalan pendidikan, seolah-olah guru menanggung beban itu sendirian,” pungkasnya.

Soal kebijakan baru pemerintah di bidang pendidikan tahun 2025, PGRI menyampaikan kajian atas 10 isu krusial pendidikan.

Pertama, Ujian Nasional (UN). Evaluasi dan pengembangan sistem pendidikan yang lebih holistik sangat diperlukan, termasuk penyesuaian kebijakan yang mengedepankan pengembangan kompetensi siswa secara menyeluruh, bukan hanya berfokus pada hasil ujian.

Karena itu, PGRI menilai, UN tidak dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Namun UN dapat digunakan sebagai alat untuk meninjau dan memperbaiki sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.

“UN dapat menjadi alat evaluasi, sejauh mana kurikulum yang diterapkan berhasil dipahami oleh siswa,” tuturnya.

Kedua, Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang memperbaharui dan menyatukan beberapa undang-undang terkait pendidikan (UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi) menjadi satu kerangka hukum yang lebih terpadu.

Dalam proses penyusunan RUU ini, PGRI berpendapat harus melibatkan banyak pemangku kepentingan pendidikan, termasuk kalangan guru sebagai praktisi, dan akademisi sehingga tidak banyak memunculkan resistensi.

“Beberapa pasal yang masih dianggap multitafsir perlu direvisi sehingga tidak menyulitkan dalam implementasinya di sekolah maupun di daerah,” kata Unifah.

Ada kekhawatiran, RUU itu akan menghapus tunjangan profesional bagi guru, yang dapat berdampak pada kesejahteraan dan motivasi tenaga pendidik. Karena itu, PGRI meminta pemerintah agar RUU tetap menjamin keberlangsungan pemberian tunjangan profesi guru yang sangat dibutuhkan para guru untuk kesejahteraannya.

Ketiga, Kurikulum Merdeka. Kurikulum tersebut merupakan langkah progresif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, tetapi implementasinya butuh dukungan kuat dalam bentuk pelatihan guru, penyediaan infrastruktur, dan evaluasi berkelanjutan.

Dengan kolaborasi semua pihak, Kurikulum Merdeka memiliki potensi besar untuk membentuk siswa yang kompeten, kreatif dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Kurikulum Merdeka mengintegrasikan pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) yang membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan kreativitas dan penekanan pada pengembangan kompetensi dan karakter siswa, bukan hanya pada pencapaian nilai akademik.

Meski demikian, lanjut Unifah, tidak semua sekolah, terutama di daerah terpencil, memiliki akses teknologi atau sumber daya yang memadai untuk mendukung implementasi Kurikulum Merdeka. Harus dipikirkan bagaimana kurikulum itu bisa diterapkan secara maksimal.

Keempat, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang menerapkan prinsip zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua/wali dan jalur prestasi.

Untuk menerapkan sistem zonasi secara ideal, pemerintah dihadapkan pada fakta adanya keterbatasan kapasitas sekolah. Beberapa sekolah ‘unggulan’ memiliki kapasitas terbatas, sementara sekolah di luar zonasi unggulan mungkin kekurangan siswa.

Pendirian unit sekolah baru oleh pemerintah juga bukanlah solusi, bahkan terkesan memperbesar dikotomi sekolah negeri dan swasta.

Implementasi PPDB perlu dukungan pemerintah daerah dalam penyediaan infrastruktur dengan memanfaatkan teknologi seperti aplikasi dan sistem online. Melalui teknologi proses PPDB dapat dilakukan lebih mudah, transparan dan efisien.

Kelima, terkait komersialisasi pendidikan. Fenomena ini menjadi kontroversial karena melibatkan keseimbangan antara aksesibilitas pendidikan dan aspek bisnis. Institusi pendidikan komersial cenderung menawarkan fasilitas dan layanan berkualitas tinggi karena adanya persaingan antarpenyedia layanan pendidikan.

Komersialisasi memberi lebih banyak opsi bagi siswa untuk memilih institusi yang sesuai dengan kebutuhan dan minat. Lembaga pendidikan komersial sering kali memiliki standar manajemen yang lebih tinggi, dengan pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, dan operasional yang lebih baik.

Namun kelemahannya, jika pendidikan terlalu didominasi oleh sektor swasta, peran pemerintah dalam menjamin pendidikan berkualitas untuk semua dapat berkurang. Praktik komersialisasi dapat menyebabkan siswa diperlakukan sebagai konsumen, di mana pendidikan menjadi komoditas yang eksklusif.

Keenam, perlindungan guru. Banyak guru menghadapi ancaman kriminalisasi justru pada saat menjalankan tugasnya di sekolah.

Perlindungan hukum terhadap guru sudah dimuat dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP 19/2017 jo PP 74/2008 tentang Guru. Namun substansi pada UU dan PP tersebut masih terbaca normatif dan belum implementatif terkait perlindungan hukum terhadap profesi guru.

Ada lagi Permendikbud 10/2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Permendikbudristek 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, dan Kepdirjen GTK 3798/2024 tentang Petunjuk Teknis Perlindungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan dalam Pelaksanaan Tugas.

“Semua produk hukum itu patut diapresiasi, akan tetapi peraturan turunan berupa Permendikbud, Permendikbudristek, maupun Perdirjen kurang memiliki kedudukan hukum kuat,” katanya.

Keberadaannya justru seringkali tumpul dan tidak berfungsi karena harus bersinggungan dengan KUHP (UU 1/2023) atau UU 35/2014 jo UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang walaupun berupa UU tapi lebih memiliki substansi yang spesifik, komprehensif, dan implementatif tentang Perlindungan Anak.

Ketujuh, sertifikasi guru. Adanya sertifikasi, kualitas pengajaran lebih merata dan sesuai dengan standar nasional. Guru yang tersertifikasi memiliki legitimasi sebagai tenaga profesional yang kompeten. Guru terdorong untuk terus belajar, mengikuti pelatihan, dan meningkatkan kualitas pengajaran.

Akan tetapi, banyak guru mengeluhkan birokrasi yang kompleks dalam mendapatkan sertifikasi. Tak semua guru honorer bisa mendapat sertifikasi, sehingga terjadi ketimpangan kesejahteraan.

“Ada kasus di mana guru sudah tersertifikasi tetapi belum menunjukkan peningkatan signifikan dalam metode mengajar,” ungkapnya.

Sertifikasi juga tidak selalu diikuti dengan evaluasi berkala, untuk memastikan kompetensi tetap terjaga. Guru harus memenuhi banyak dokumen dan persyaratan administratif untuk mendapat dan mempertahankan sertifikasi.

Karena itu, PGRI mengusulkan penggunaan platform digital untuk mempermudah proses sertifikasi serta pembelajaran berkelanjutan.

Kedelapan, peta jalan pendidikan yang sangat dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Karena tidak semua daerah memiliki akses yang sama terhadap sumber daya pendidikan.

Untuk itu, pemanfaatan e-learning, artificial intelligence (AI) dan platform digital bisa meningkatkan akses pendidikan. Pendidikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan industri dan peluang kerja global.

Kesembilan, seleksi nasional berbasis prestasi (SNBP) untuk
menjaring siswa-siswa berprestasi dan terpilih (eligible) agar diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui seleksi nilai rapor.

Belakangan ada persoalan, sekitar 373 sekolah belum menyelesaikan pengisian PDSS sehingga 9.438 siswa terancam tidak bisa mengikuti SNBP.

Karena itu, perlu solusi atas persoalan itu lewat kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Kemdiktisaintek) dan panitia SNBP agar dapat memperpanjang masa pengisian PDSS kepada sekolah yang terdampak.

Kesepuluh, PGRI sebagai organisasi profesi guru agar fokus pada pengembangan profesi guru, perlindungan dan kesejahteraan guru. PGRI akan fokus pada peningkatan kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan, baik persekolahan maupun perguruan tinggi. (Tri Wahyuni)

Related posts