JAKARTA (Suara Karya): Sosialisasi Gerakan Nasional (Gernas) Budaya Sensor Mandiri yang diinisiasi Lembaga Sensor Film (LSF) kini melibatkan rumah produksi dan bioskop. Upaya itu diharapkan dapat memajukan industri film di Tanah Air.
“Semoga upaya ini dapat meningkatkan jumlah penonton baru, sehingga film Indonesia semakin jaya,” kata Kepala LSF, Naswardi dalam acara bertajuk Nobar Film Indonesia ‘Pantaskah Aku Berhijab’ Bersama LSF di Bioskop XXI Plaza Senayan Jakarta, Senin (18/11/24).
Hadir dalam kesempatan itu, Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru, Kementerian Kebudayaan, Ahmad Mahendra mewakili Menteri Kebudayaan, Fadli Zon yang berhalangan hadir.
Sosialiasi tersebut juga dihadiri sutradara Hadrah Daeng Ratu dan para pemain film Pantaskah Aku Berhijab; serta puluhan mahasiswa dari 12 perguruan tinggi di Jakarta, yang menjadi mitra Gernas Budaya Sensor Mandiri di Jakarta.
Naswardi menjelaskan, LSF selain memiliki tugas utama dalam menilai film untuk ditetapkan klasifikasi usia, lewat penerbitan surat tanda lulus sensor (STLS), juga bertanggung jawab atas peningkatan kualitas literasi tontonan masyarakat, melalui Gernas Budaya Sensor Mandiri.
“Bahasa sederhananya, budaya sensor mandiri adalah gerakan untuk memasyarakatkan klasifikasi usia penonton. Hal itu selaras dengan Undang-Undang (UU) Perfilman, yang menyebut ada 4 klasifikasi usia yaitu semua umur (SU), 13+, 17+ dan 21+,” ujarnya.
Lewat klasifikasi usia itu, lanjut Naswardi, masyarakat diharapkan memiliki kesadaran mandiri untuk menonton film sesuai usia.
“Diharapkan, tak ada lagi orangtua yang keukeuh membawa anaknya yang masih bocah saat akan menonton film untuk 21+, dengan alasan tidak ada orang yang menjaga anaknya di rumah,” tuturnya.
Naswardi menambahkan, LSF tengah mengembangkan model baru sosialisasi Gernas Budaya Sensor Mandiri yang melibatkan rumah produksi dan industri bioskop.
“Jika sebelumnya sosialisasi budaya sensor mandiri kita lakukan ke sekolah, kampus dan komunitas, mulai hari ini kita coba model kolaborasi tripartit antara LSF, bioskop dan rumah produksi,” tuturnya.
Sosialisasi model baru tersebut, menurut Naswardi, bertujuan saling memberi kebermanfaatan. Tahun depan, LSF memiliki 125 lokus sosialisasi budaya sensor mandiri yang akan coba dimaksimalkan dengan tempat di bioskop.
“Kita undang mahasiswa ke bioskop. Kehadiran mereka sekaligus membantu mempromosikan film nasional. Sehingga tumbuh penonton baru yang akan mendongkrak industri film Indonesia,” katanya.
Naswardi menyebut kegiatan sosialisasi tahun depan akan berlangsung di 125 kota di seluruh Indonesia, dan bertempat di jaringan bioskop seluruh Indonesia.
“LSF telah menjalin kerja sama dengan XXI, Cinepolis, CGV dan sejumlah bioskop independen lainnya yang ada di daerah,” katanya.
Ditanya soal tips menonton sesuai budaya sensor mandiri, Naswardi mengatakan, hal bisa dimulai dari orangtua lewat penanaman nilai-nilai. Anak hanya boleh menonton tayangan sesuai usia.
“Hal itu tidak hanya berlaku di bioskop, tetapi juga televisi dan jaringan teknologi informatika,” ujarnya.
Khusus untuk bioskop, lanjut Naswardi, LSF telah memiliki maskot, jingle, dan warna di belakang tiket yang menjadi penanda klasifikasi usia. Warna hitam untuk 21+, biru untuk 13+ dan warna kuning.
“Upaya itu merupakan bagian dari literasi untuk masyarakat. Memahami pentingnya menonton sesuai usia,” katanya.
Budaya sensor mandiri menjadi penting, lanjut Naswardi, terutama untuk kelompok rentan seperti anak-anak. Jika anak usia 7 tahun sering diajak orangtuanya menonton tayangan 21+, hal itu akan mengganggu psikologi perkembangannya. (Tri Wahyuni)