JAKARTA (Suara Karya): Teknologi genomik semakin menegaskan perannya sebagai inovasi strategis bagi masa depan Indonesia, baik di bidang kesehatan lewat kedokteran presisi, maupun ketahanan pangan nasional.
Hal itu mengemuka dalam AGI Summit 2025 yang digelar Asosiasi Genomik Indonesia (AGI) di Jakarta, Sabtu (2/8/25).
Acara bertajuk ‘Genomics Local Impact: Improving Efficiency for Health and Food Security’ itu dibuka Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin.
AGI Summit dihadiri lebih dari 100 peserta lintas sektor, mulai dari rumah sakit, perusahaan asuransi kesehatan, industri teknologi genomik, agribisnis, akademisi, investor, hingga pejabat pemerintah.
Hadir sebagai narasumber, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Drh Agung Suganda, dan Rektor IPB University, Dr Arif Satria.
President AGI, Dr dr Ivan Rizal Sini, GDRM, MMIS, FRANZCOG, SpOG kepada media menjelaskan, AGI Summit 2025 adalah tonggak penting dalam membangun ekosistem genomik nasional yang kolaboratif, terukur, dan berdampak nyata bagi masyarakat.
“Lewat AGI Summit 2025, kami ingin menciptakan ruang diskusi yang produktif demi memperkuat ekosistem genomik di Indonesia,” kata dr Ivan seraya menambahkan event tersebut kelanjutan dari AGI Summit 2023.
AGI Summit 2025 merupakan inisiatif untuk terus memberi dukungan kepada seluruh pemangku kepentingan, baik dari kalangan pemerintah, masyarakat, industri, maupun akademisi.
“Kami ingin memastikan, pendekatan yang kami ambil selalu inklusif, membuka ruang dialog yang terbuka, dan mendorong kolaborasi lintas sektor,” katanya.
Melalui AGI Summit, dr Ivan berharap pihaknya dapat terus menyosialisasikan pentingnya ilmu genomik bagi kemajuan ilmu pengetahuan, kesehatan masyarakat, serta pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Balai Besar Biomedis dan Genomika Kesehatan (BB Binomika), Indri Rooslamiati memaparkan bagaimana genomik presisi mampu meningkatkan akurasi diagnosis, mempersonalisasi pengobatan, serta menekan biaya layanan kesehatan.
“Salah satu penerapan terobosan adalah farmakogenomik, yang memungkinkan dokter menyesuaikan resep obat berdasarkan profil genetik pasien sehingga mengurangi risiko efek samping,” tuturnya.
Ditambahkan, Kementerian Kesehatan juga mendorong rumah sakit mengembangkan layanan precision medicine di sejumlah rumah sakit yang khusus menangani penyakit-penyakit berat dan berbiaya mahal, seperti RS PON, RS Kanker Dharmais, RS Harapan Kita, RS Persahabatan, dan RS Sulianti Saroso.
“Lewat kedokteran presisi, layanan kesehatan jadi lebih murah dan efisien, karena obat diberikan sesuai dengan profil genetik masing-masing pasien,” ujar Indri.
Dr Rizal menambahkan, teknologi genomik juga lebih affordable dan accessible. “Kuncinya adalah data genomik masyarakat yang aman dan dikelola di dalam negeri, sesuai ketentuan undang-undang,” katanya.
Langkah konkret penguatan kolaborasi diwujudkan melalui penandatanganan perjanjian kerja sama antara Fakultas Kedokteran IPB University dan Balai Besar Biomedis dan Genomik Kesehatan (BB Binomika) untuk memperluas akses tes genomik di Indonesia.
Selain sektor kesehatan, AGI Summit 2025 juga menyoroti agrigenomik sebagai solusi meningkatkan produktivitas pangan. Inovasi Indonesian Genomic Breeding Value (IGBV) buatan anak bangsa menjadi andalan untuk mempercepat seleksi genetik sapi perah dan sapi potong.
Dengan teknologi ini, proses pemuliaan ternak yang biasanya memakan waktu bertahun-tahun dapat dipangkas, menghasilkan bibit unggul yang tahan penyakit, adaptif terhadap iklim tropis, dan menghasilkan daging serta susu berkualitas tinggi.
“Genomik adalah alat strategis untuk memperkuat ketahanan pangan nasional,” tegas Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Drh Agung Suganda.
Ketua AGI, dr Rizal Sini menjelaskan, pemanfaatan genomik juga mulai diterapkan untuk penyusunan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy), salah satunya dalam program pencegahan stunting.
“Dengan memetakan profil genetik populasi di berbagai wilayah, pemerintah dapat menyesuaikan intervensi gizi secara lebih tepat sasaran dan efisien,” ucapnya.
Meski prospeknya cerah, penerapan genomik di Indonesia masih menghadapi kendala, seperti biaya pemeriksaan yang sebagian besar ditanggung pasien dan minimnya tenaga ahli bioinformatika.
AGI berharap melalui kemitraan strategis lintas sektor, baik nasional maupun internasional pemanfaatan teknologi genomik dapat dipercepat dan diperluas.
“Genomik bukan sekadar teknologi canggih di laboratorium, tetapi sarana nyata untuk membangun masyarakat yang lebih sehat, produktif dan berkelanjutan,” pungkas dr Rizal.
Terkait kesiapan Indonesia dalam penerapan genomik, Sekjen AGI & Chief Scientific GSI Lab, Dr Ariel Pradipta mengatakan, sudah pada track yang benar. Banyak industri yang mulai melirik pembuatan alat tes genomik yang bisa diakses masyarakat.
“Salah satunya teknologi Genomic Breeding Value (IGBV) untuk meningkatkan produktivitas sapi perah dan mendukung produksi susu nasional,” ucap dr Ariel menandaskan. (Tri Wahyuni)