Suara Karya

Literasi Digital, Kunci Sukses Dongkrak Layanan Kesehatan di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Era digital telah mengubah lanskap sejumlah sektor, termasuk layanan kesehatan. Dan literasi digital bagi tenaga kesehatan memainkan peran penting agar layanan kesehatan menjadi lebih efisien.

“Literasi digital bukan lagi opsional, melainkan kunci sukses dalam pelayanan kesehatan di Indonesia,” kata Ketua Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, Amiruddin Supartono dalam acara Literasi Digital Kepada Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Seri 2 di Bekasi, akhir pekan lalu.

Ditambahkan, tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab besar terhadap keselamatan pasien, seperti kemampuan dalam mengakses, mengevaluasi dan menggunakan informasi kesehatan digital secara optimal.

“Namun semua manfaat literasi digital itu datang dengan berbagai tantangan, seperti risiko keamanan dan penyalahgunaan informasi,” ujarnya.

Upaya meningkatkan literasi digital bagi tenaga kesehatan dilakukan lewat kolaborasi dengan tim. Pelatihan dibuat berkala agar tetap relevan dalam dunia kesehatan yang berubah dengan sangat cepat.

Pada kesempatan yang sama, Widyaiswara Ahli Madya Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Ciloto Kemenkes RI, Maman menyampaikan tentang digital skill guna memahami kecakapan digital.

“Pemahaman keterampilan digital, tak sekadar terampil secara hard skill, tetapi bagaimana memahami, menyeleksi, memverifikasi, menganalisis, dan berpartisipasi di media digital secara efektif dan efisien,” ucap Maman.

Sementara itu, Pimpinan HM Center Indigitama, Muhammad Haris Maknun memaparkan materi tentang digital safety. Karena di era transformasi digital, ada manfaat dan risiko yang mengganggu.

Haris mencontohkan kebiasaan foto selfie, yang kemudian dibagikan kemedsos. Hal itu menjadi ancaman bagi karir jika tidak dikelola dengan baik.

“Foto disimpan silahkan. Namun ketika handphone itu dijual, meski data sudah terhapus, masih bisa diambil oleh software,” katanya.

Haris menyarankan handphone yang sudah tak terpakai, lebih baik tidak dijual. Meski info didalamnya tidak penting, namun semua jejak digital ada di dalamnya.

Dalam keamanan digital, peran individu memahami manfaat dan risiko akan meningkatkan kewaspadaan, agar tidak terjebak pada masalah yang tidak dipahami.

Hal yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah etika, yang berakhir menjadi karakter dan budaya. Karena itu, perlu ‘digital ethics’ supaya masyarakat menjadi melek informasi.

“Kalau sudah masuk ke ruang digital, privasi sudah sangat tipis antara keterbukaan dan keterlanjangan. Makanya hati-hati, harus ada etika, termasuk dalam menyampaikan informasi medis dan rekam jejak digital pasien,” ucapnya.

Kepala Laboratorium Psikologi BINUS Bekasi, Cornelia Istiani mengatakan, tantangan kehidupan digital sebagian besar ada di kehidupan sosial.

Kehidupan kerja relatif lebih mudah untuk dikontrol, sedangkan kehidupan sosial agak sulit hanya bisa dimulai dari diri sendiri. “Untuk membangun budaya digital harus dimulai dari diri sendiri,” ucapnya.

Ketua Konsil Kesehatan Masyarakat, R Ayu Anggraeni Dyah Purbasari memaparkan seputar konsil kesehatan masyarakat pasca terbitnya UU No 17/2023 tentang kesehatan.

Menurut UU tersebut, jenis nakes di konsil kesehatan masyarakat ada 5, yaitu tenaga kesehatan masyarakat, tenaga epidemiolog kesehatan, tenaga PKIP/promkes, tenaga pembimbing kesehatan kerja, dan tenaga administrasi kerja.

“Surat Tanda Registrasi (STR) yang dulu berlaku hanya 5 tahun, jika diperpanjang menjadi seumur hidup. Jika punya STR, maka hal itu berlaku seumur hidup dan Surat Izin Praktek (SIP) yang akan membedakan,” katanya.

Anggraeni mengingatka, saat ini pembaharuan STR diprioritaskan bagi mereka yang mendekati expired 5 tahun. Kemudian secara otomatis akan melakukan pembaharuan seumur hidup.

“Untuk kesehatan masyarakat sedang ditangguhkan. Karena yang wajib memiliki STR adalah lulusan vokasi atau profesi, sementara lulusan S1 akademik tidak diperlukan. Jika mendaftar PPPK, ASN dan sebagainya, tenaga kesehatan tidak wajib punya STR dan ditindaklanjuti ke BKN dan BKD,” katanya.

Sejalan dengan pernyataan Anggraeni soal STR, Guru Besar Bidang Epidemiologi, Prof Cicilia Windiyaningsih mengatakan, pengurusan STR sudah tidak ada etika profesi lagi.

“Dalam pengurusan STR sekarang sudah diminimalisir, tetapi kenyataannya sumpah profesi itu harus menjaga etika dan profesi masing-masing dari tenaga masyarakat,” ujarnya.

Etika profesi menjadi tuntutan di masa depan. Karena itu pentingnya kode etik perlu untuk dibuat. “Kode etik merupakan suatu cara untuk memperbaiki iklim organisasi sehingga individu-individu dapat berperilaku secara etis,” katanya.

Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu mengarahkan perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam setiap keputusan bisnisnya. (Tri Wahyuni)

Related posts