JAKARTA (Suara Karya): Menteri Lingkungan Hidup(LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan komitmen pemerintah dalam memulihkan ekosistem lahan basah Indonesia, khususnya gambut dan mangrove.
Penegasan itu disampaikan dalam Forum Kolaborasi Pemulihan Ekosistem Gambut dan Mangrove 2025 yang digelar di Jakarta, Kamis (2/10/25).
Hanif mengungkapkan, Indonesia memiliki 13,36 juta hektare lahan gambut dengan cadangan karbon sekitar 57 gigaton. Namun, lebih dari 3,3 juta hektare telah rusak akibat drainase, alih fungsi lahan, dan praktik pembukaan dengan api.
Meski begitu, data 2018-2023 menunjukkan adanya tren positif. Sekitar 3,07 juta hektare mengalami perbaikan kualitas, sementara 2,5 juta hektare menurun, dan sisanya relatif stabil.
“Keberhasilan pemulihan di dalam konsesi harus diperluas ke luar konsesi. Justru area tanpa kewajiban hukum yang paling rentan mengalami degradasi,” tegas Hanif.
Sejak 2015, Kementerian LH menjalankan Program Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) di 332 desa. Hasilnya terlihat signifikan, hanya 3 desa yang masih mengalami kebakaran berulang.
Strategi 3R (Rewetting, Revegetasi, Revitalisasi) terbukti mampu menekan risiko kebakaran sekaligus membuka peluang ekonomi baru.
Sementara itu, pada ekosistem mangrove yang luasnya mencapai 3,44 juta hektare, pemerintah telah memulihkan lebih dari 85 ribu hektare sejak 2020. Ditambah kontribusi internasional dan CSR hingga 14 ribu hektare.
Untuk mempercepat upaya ini, pemerintah meluncurkan Program Desa Mandiri Peduli Mangrove (DMPM) dengan melibatkan masyarakat pesisir.
KLH/BPLH juga memetakan 2.354 desa prioritas sebagai target intervensi pemulihan ekosistem gambut, meliputi 1.450 desa seluas 528.683 hektare di zona buffer 5 km sekitar konsesi perusahaan, yang akan dipulihkan bersama dunia usaha.
Selain itu ada 904 desa di luar zona buffer seluas 298.276 hektare, yang menjadi tanggung jawab kolaborasi pemerintah pusat dan daerah.
Hanif menekankan pentingnya kolaborasi pentahelix, yaitu pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat, dan media untuk mempercepat pemulihan.
Menurutnya, pemulihan ekosistem tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga mengurangi risiko bisnis, memperkuat ekonomi lokal, serta membuka akses menuju sertifikasi karbon.
“Kolaborasi ini bukan sekadar menanam pohon atau membangun sekat kanal. Ini tentang masa depan anak-anak kita, masa depan bisnis, dan masa depan bumi,” ucap Hanif.
Sebagai bentuk apresiasi, pemerintah akan memberi sertifikat pemulihan ekosistem bagi perusahaan yang berkontribusi. Nantinya, kontribusi itu bisa menjadi dasar pengakuan target ‘net zero emission’ serta peluang di pasar karbon. (Tri Wahyuni)