JAKARTA (Suara Karya): Asosiasi Inventor Indonesia (AII) membantu kampus untuk memvaluasi invensi dan tahapan komersialisasinya. Sehingga invensi tersebut berguna bagi masyarakat untuk kemajuan bangsa.
“Kampus itu sebenarnya ‘gudang’-nya invensi. Itu bisa dilihat dari banyaknya paten yang didaftarkan lewat kampus,” kata Ketua Umum AII, Prof Didiek Hadjar Goenadi dalam tasyakuran HUT ke-15 AII di Jakarta, Selasa (18/7/23).
Namun, lanjut Prof Didiek, periset di kampus tidak memahami bahwa ada harga yang harus dibayar untuk memberi perlindungqn terhadap paten. Sementara paten itu sendiri tidak menghasilkan uang.
“Periset di kampus mengejar paten demi karir akademiknya. Stop sampai disitu. Padahal, mempertahankan paten itu butuh biaya, yang pada akhirnya menjadi beban bagi periset maupun kampus, jika tidak dilakukan komersialisasi,” ujarnya.
Belajar dari pengalaman itu, AII bekerja sama tiga perguruan tinggi, yaitu Politeknik Negeri Malang (Polinema), Universitas Djuanda Bogor, dan Universitas Pancasila untuk memvaluasi invensi dan mempertemukan dengan industri untuk komersialisasinya.
“Sosialisasi tentang strategi manajemen invensi hasil riset akan terus dilakukan AII ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia agar invensi yang dimiliki berdayaguna,” ucapnya.
Untuk itu, lanjut Prof Didiek, AII akan membangun kolaborasi dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaan Intelektual, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek) dan Ditjen Pendidikan Vokasi, Kemdikbudristek.
Dijelaskan, salah satu Misi AII adalah membantu inventor untuk mengatasi kendala atau hambatan dalam komersialisasi invensinya; memperkuat kemampuan inventor dalam berinvensi; dan membekali inventor dengan kemampuan memasarkan invensinya.
“Misi ini dilakukan lewat rangkaian kegiatan mulai dari valuasi hingga promosi ke industri potensial dengan core business yang sesuai dengan jenis invensi yang dihasilkan oleh para inventor,” tutur Prof Didiek.
Pada 2022, AII kembali mendapat amanah untuk melakukan valuasi atas 49 invensi Grand Riset Sawit (GRS) Tahun 2015-2021, yang dimulai Oktober 2022 dan berakhir Oktober 2023.
Kegiatan itu merupakan lanjutan dari kerja sama sebelumnya, antara AII dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit tahun 2021-2022.
Dari kegiatan sebelumnya, diperoleh 13 teknologi terkait kelapa sawit yang dinilai layak komersialisasi dan 6 diantaranya sudah mendapat pernyataan minat dari industri terkait.
Dua diantaranya, invensi produk pupuk silika (BioSilAc) dan emulsifier untuk pangan yang berlanjut ke tahapan perjanjian kerahasiaan (non-disclosure agreement/NDA) dengan perusahaan terkait.
Kegiatan valuasi teknologi tahun berikutnya menghasilkan invensi yang siap untuk komersialisasi dengan para mitra industri dan dituangkan dalam bentuk LOI dan NDA.
Ditambahkan, AII juga memfasilitasi pemasyarakatan alat Torsi Plus untuk mengurangi emisi gas buang kendaraan bermotor hingga 0 persen, peningkatan daya, dan hemat bahan bakar hingga 30 persen. Invensi itu milik inventor mandiri bernama Komarudin Umar untuk masyarakat pemilik kendaraan diesel maupun premium.
“Kami juga sedang memfasilitasi uji kelayakan Torsi Plus kepada Kementerian ESDM cq Ditjen EBTKE dan Kementerian LHK cq Ditjen Pengendalian Pencemaran Udara untuk mendukung program mereka terkait tupoksi kementeriannya masing-masing,” katanya.
Upaya yang dilakukan AII, Prof Didiek menegaskan, pada prinsipnya untuk mengatasi sindrom lembah kematian (death valley síndrome) yang dihadapi para inventor dalam komersialisasi invensinya.
“Untuk itu, AII tidak bisa bekerja sendirian. Kami butuh mitra-mitra yang terdiri dari institusi penghasil invensi, lembaga penyedia dana riset dan perakitan teknologi, asosiasi industri/pengusaha, pemerintah, dan masyarakat umum termasuk inventor mandiri,” katanya. (Tri Wahyuni)