JAKARTA (Suara Karya): Program Youth as Researchers-Tanoto Scholars Research Awards (YAR-TSRA) kembali digelar tahun ini. Program terselenggarakan berkat kolaborasi yang ciamik antara Tanoto Foundation dan UNESCO.
YAR-TSRA yang digagas sejak 2023 lalu itu diharapkan menjadi wadah bagi peneliti muda Indonesia untuk mengembangkan potensi mereka dalam penelitian sosial, yang hasilnya dapat digunakan untuk pembuatan kebijakan publik.
Acara puncak YAR-TSRA 2024 yang digelar di Jakarta, Jumat (22/1/25) diselingi acara podcast live on-stage bertajuk ‘Unlocking Potential’ dengan narasumber Director of the UNESCO Regional Office, Maki Katsuno-Hayashikawa. Diskusi dipandu Country Head Tanoto Foundation Indonesia, Inge Kusuma.
Dalam podcast, Maki dan Inge membahas peran generasi muda, khususnya mahasiswa dalam pembangunan melalui kegiatan riset.
“Kita cenderung mengabaikan peran perguruan tinggi. Padahal, mereka bisa mempengaruhi kebijakan dan mengubah arah pemerintahan atau publik. Namun,
perguruan tinggi tidak bisa melakukan hal itu sendirian, harus didukung mahasiswa,” kata Maki.
Disebutkan, UNESCO bekerja sama dengan perguruan tinggi ingin menciptakan lingkungan yang ramah dan inklusif bagi mahasiswa, untuk mengambil tindakan termasuk lewat riset atau penelitian.
“Mahasiswa memiliki peran penting sebagai pemberi masukan penelitian dan pengajaran di perguruan tinggi. Keterlibatan sektor swasta juga penting dalam mendukung perguruan tinggi, karena tidak semua perguruan tinggi memiliki sumber daya penelitian yang sama,” tuturnya.
Inge dan Maki juga membahas tentang pentingnya peran mentorship, terutama pada peneliti muda, yang dapat bekerja secara vertikal, maupun horizontal.
“Mentorship bukan hanya pendampingan antara orang yang sudah berpengalaman dan belum, tetapi juga bisa terjadi antara orang sebaya. Jarena mereka memiliki ilmu, pengalaman, kepentingan, dan ambisi yang berbeda,” kata Maki.
Mentorship horizontal menjadi jalur untuk meningkatkan kualitas penelitian dan membuka koneksi (networking). Salah satunya lewat kegiatan semacam YAR-TSRA atau kegiatan serupa lainnya.
Penelitian sebagai pembelajaran seumur hidup juga menjadi pokok bahasan dalam podcast. Apalagi penelitian tidak lepas dari isu tertentu saja seperti politik, lingkungan, atau kesehatan.
“Penelitian juga dapat membuka dan memperluas wawasan tentang dunia bagi para peneliti muda,” katanya.
Pada kegiatan YAR-TSRA, pengetahuan juga didapat melalui proses penelitian itu sendiri. Karena peserta harus mempelajari metodologi penelitian, menerapkan, menafsirkan temuan, dan implementasi temuan agar benar-benar dapat bermanfaat.
“Peneliti memiliki kontribusi besar dalam mengubah dunia, dengan kekuatan penelitian, mampu mempengaruhi kebijakan, menyumbang informasi data ke lembaga-lembaga seperti PBB, dan memberi saran dan masukan kepada pemerintah,” tuturnya.
Terakhir, Maki memberi motivasi kepada para peneliti muda untuk tetap semangat meski menghadapi banyak tantangan.
“Jangan menyerah. Karwna ketekunan dan ketangguhan adalah dua hal yang sangat penting untuk menjadi peneliti,” pungkas Maki.
Sekadar informasi, Indonesia hingga kini masih menghadapi tantangan besar terkait jumlah peneliti. Data UNESCO tahun 2018 menyebut, Indonesia hanya memiliki sekitar 110 peneliti per satu juta penduduk. Angka itu jauh di bawah rata-rata dunia yang mencapai 1.198 peneliti per satu juta penduduk.
Pada tingkat Asia, Indonesia juga tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia (503 peneliti per satu juta penduduk), Singapura (509 peneliti per satu juta penduduk), dan Jepang (6.000 peneliti per satu juta penduduk).
Pemerintah Indonesia, melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebelumnya telah menetapkan target untuk meningkatkan jumlah peneliti di Indonesia hingga 9.000 orang pada 2045, yang bertepatan dengan momentum Indonesia Emas. (Tri Wahyuni)

