JAKARTA (Suara Karya): Fraksi Partai Gerindra DPR mengkritisi kerangka ekonomi makro dan pokok kebijakan fiskal (KEM-PPKF) tahun 2019 yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
“Masih banyak target pemerintah yang belum tercapai. Masih banyak hal yang kami lihat masih kurang fokus pada hal yang strategis. Uang begitu besar dikeluarkan setiap tahun, tenyata dampaknya yang dirasakan masyarakat tidak begitu terasa,” ujar Ketua Fraksi Gerindra, Edhy Prabowo, kepada wartawan, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (24/5).
Dia menyebutkan harga listrik, BBM dan naik terus. Ini menjadi catatan Fraksi Gerindra yang perlu menjadi masukkan. “Kita tidak ingin terjebak sebagai isu politik. Kita ini ngurus negara yang menjadi tanggung jawab kita semua. Fraksi Gerindra punya tanggung jawab pada masyarakat yang memilih kami, makanya kitai berikan koreksi dan masukan pada pemerintah,” kata Edhy Prabowo.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Gerindra Heri Gunawan yang turut mendampingi Edhy Prabowo mengkritisi target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,4 persen hingga 5,8 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada kisaran 7 persen.
Faktanya kata Heri, dari tahun ke tahun hanya tercapai antara 5,06 hingga 5,19 persen, yaitu selalu berada dibawah target pertumbuhan yang dipatok APBN dalam kurun waktu tiga tahun anggaran belakangan ini.
“Capaian ini tentunya mengindikasikan adanya kegagalan pemerintah dalam memenuhi target pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Heri Gunawan.
Seyogiyanya menurut Fraksi Gerindra, kebijakan ekonomi diarahkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, berkeadilan dan berkedaulatan.
Dalam mencapai sasaran tersebut, pembangunan ekonomi harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, dalam arti meningkatkan pendapatan, mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan meningkatkan kesempatan kerja serta mampu meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.
“Bukan hanya sekedar memberikan alokasi bantuan sosial yang berbau populis demi mengejar popularitas di mata rakyat,” tegas Heri Gunawan.
Heri mengatakan, laju inflasi walaupun terlihat positif namun memberi pesan bahwa telah terjadi penurunan daya beli masyarakat. Kondisi itu merupakan dampak dari rupiah yang cenderung terdepresiasi seiring penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia, kemudian diikuti oleh kenaikan BBM nin subsidi dan penertiban subsidi tarif dasar listrik terhadap 20 juta pelanggan, yang diperkirakan masih akan terjadi pada tahun 2019.
Tingkat suku bunga Surat Perbendaharan Negara (SPN) 3 bulan dalam asumsi makro ditetapkan berkisar antara 4,6 persen hingga 5,2 persen, dinilainya masih belum kondusif untuk masuknya arus modal ke Indonesia, dan kenaikan suku bunga The Fed sepanjang tahun 2018 diperkirakan berdampak pada tahun 2019 yang mengakibatkan likuiditas akan banyak mengalir ke luar negeri.
“Kinerja ekonomi pemerintah kami perkirakan belum dapat maksimal menstabilisasi pergerakan suku bunga SPN 3 bulan,” jelasnya.
Dikatakannya juga, nilai tukar rupiah yang stabil akan sangat berperan penting bagi APBN dan perekonomian nasional. Ada fenomena baru yang menarik terjadi pada bulan April 2018, terjadi depresiasi rupiah sebesar 3 persen terhadap USD tapi nilai ekspor bulan April turun dibandingkan bulan sebelumnya.
Defisit Transaksi Berjalan (DTB) terjadi berturut-turut sejak tahun 2012, dan memasuki tahun kedelapan pada tahun 2019. Perkiraan kami pada tahun 2018 akan mencapai US$ 27,1 milyar atau 2,5 persen dari PDB dan pada tahun 2019 turun mencapai US$ 24,0 milyar atau 2,1 persen dari PDB. Hal tersebut memberi konfimasi Indonesia semakin tergantung pada pinjaman valuta asing.
Cadangan Devisa yang relatif masih kecil dan itupun sebagian besar adalah akumulasi dari utang; serta sekitar US$ 50 milyar dari cadangan devisa adalah investasi portofolio yang dapat dengan cepat mengalir keluar. (Gan)