Suara Karya

Indonesia di Tengah Pusaran Resesi, Ini Kata Para Ahli!

JAKARTA (Suara Karya): Ekonomi dunia berada di tengah ancaman resesi akibat pandemi Covid-19, serta ditunjang krisis keuangan, pangan, dan energi global pasca pecahnya perang Rusia-Ukraina. Lalu bagaimana nasib Indonesia?

Banyak ahli memperkirakan Indonesia tidak akan masuk dalam daftar negara yang terancam resesi. Hal yang sama dikemukakan Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mirza Adityaswara.

“Saat ini, sistem keuangan di Indonesia masih terpantau stabil, terbukti dengan nilai permodalan bank sebesar 25 persen dari rata-rata 14 persen,” kata Mirza dalam pemaparannya pada kegiatan OJK Mengajar yang digelar Universitas Pertamina (UPER), Jumat (4/11/22).

Selain itu, lanjut Mirza, nilai profit return on asset (ROA) perbankan Indonesia ada di angka 2,37 persen. Untuk bank dengan ROA di atas 1,5 persen itu sangat sulit. Karena itu, perbankan Indonesia terbukti masih profitable.

Hal itu selaras dengan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Katanya, pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi covid-19 masih terpantau aman. Karena ditopang sektor ekspor dan pulihnya konsumsi serta investasi dalam negeri.

Kondisi ekonomi Indonesia disebut masih tangguh, dengan pertumbuhan ekonomi Kuartal III diprediksi akan melebihi pertumbuhan ekonomi Kuartal II yang berada di angka 5,7 persen.

Capaian itu, termasuk peran OJK yang membantu pemerintah dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia. “OJK memiliki tugas untuk mengawasi Industri Jasa Keuangan seperti bank, perusahaan sekuritas, reksa dana, asuransi dan sebagainya agar dapat berjalan dengan stabil,” ujar Mirza.

Kegiatan OJK Mengajar merupakan bagian mata kuliah Cipta Karsa di Universitas Pertamina. Mata kuliah itu menghadirkan pembicara dari kalangan industri, guna lebih mendekatkan mahasiswa pada kondisi riil di masyarakat.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis serta Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Universitas Pertamina, Dewi Hanggraeni dalam kesempatan yang sama menyebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai masih baik tidak menutup kemungkinan terjadinya risiko.

“Di era VUCA, terutama sektor ekonomi tentunya membuat mayoritas bisnis relatif tidak stabil. Misalkan, harga minyak dunia yang meroket dan krisis pangan membuat beberapa bisnis gugur, namun ada juga yang bertahan,” tutur Dewi.

Untuk mengatasi ketidakstabilan itu, Dewi menilai, sebagai pelaku ekonomi kita perlu melihat jauh ke depan. Kira-kira risiko apa saja yang bisa muncul di masa depan.

Salah satu caravyang bisa dilakukan para pegiat industri jasa keuangan, lanjut Dewi, mulai mengimplementasikan GRC. Dengan cara pengoptimalan tata kelola perusahaan (governance), manajemen risiko, serta kepatuhan terhadap segala regulasi.

“Untuk dapat menjalankan GRC, diperlukan dukungan penuh dari segala elemen di dalam industri, yaitu mulai dari pimpinan hingga staf. Namun, contoh komitmen dari pimpinan adalah hal yang paling penting agar para stafnya dapat mengikutinya,” kata Dewi.

Survei Nasional Manajemen Risiko yang dilaksanakan Center for Risk Management and Sustainability (CRMS) pada 2019 menunjukkan, sebanyak 76 persen perusahaan di Indonesia sudah menerapkan manajemen risiko dengan baik.

“Dari survei yang sama, diketahui juga penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan performa keuangan sebesar 20 persen secara keseluruhan,” kata Dewi menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts