JAKARTA (Suara Karya): Komitmen perguruan tinggi dalam membuka akses pendidikan bagi penyandang disabilitas dinilai masih belum optimal. Kendala utama bukan semata soal fasilitas, tetapi masih rendahnya pemahaman kampus atas pemenuhan hak pendidikan inklusif.
Hal itu dikemukakan Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Republik Indonesia, Dante Rigmalia dalam acara bertajuk ‘Diseminasi Praktik Baik Metrik Inklusi Disabilitas, di Universitas Pradita, Tangerang, Banten, Rabu (17/12/25).
Acara dibuka oleh Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa), Ditjen Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Diktisaintek), Kemdiktisaintek, Beny Bandanadjaja.
Peraih gelar doktor dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung itu menegaskan, pentingnya pengukuran tingkat inklusivitas kampus sebagai dasar penyusunan kebijakan yang tepat sasaran.
“Kita perlu mengukur apakah kampus sudah inklusif atau belum. Mengukur artinya mengevaluasi sejauh mana layanan kampus benar-benar bisa dinikmati semua mahasiswa, termasuk penyandang disabilitas,” ujar Dante.
Menurutnya, salah satu persoalan krusial di perguruan tinggi adalah masih digunakannya standar yang digeneralisasi, tanpa mempertimbangkan kemampuan individual mahasiswa penyandang disabilitas.
Ia mencontohkan aduan mahasiswa keperawatan yang gagal melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena persoalan tinggi badan, meski sudah menyelesaikan pendidikan sebelumnya.
“Ini membuat kita harus bercermin. Apakah benar tinggi badan menghalangi seseorang menjadi perawat. Atau kita yang belum mampu menyediakan akomodasi yang layak,” kata Dante mempertanyakan.
Kondisi itu, lanjut Dante, seringkali membuat mahasiswa penyandang disabilitas hadir di kampus secara administratif, tetapi tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam proses akademik.
“Mereka ada, tapi seperti tidak ada. Akhirnya tidak bisa berprestasi secara maksimal,” tambahnya.
Dante menekankan, inklusivitas bukan berarti meniadakan standar profesional, tetapi memberi kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya. Sedangkan batasan profesi ditentukan oleh organisasi profesi masing-masing.
“Standar bagi penyandang disabilitas tidak bisa digeneralisasi. Standarnya adalah kemampuan dirinya,” kata Dante yang juga seorang penyandang disabilitas masalah pendengaran tersebut.
Ia juga mengingatkan, amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 secara jelas mewajibkan perguruan tinggi membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) sebagai pusat dukungan akademik dan non-akademik.
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Ditjen Diktisaintek, Kemdiktisaintek, Beny Bandanadjaja mengakui, hambatan terbesar kampus adalah minimnya pemahaman bahwa layanan disabilitas merupakan kewajiban.
“Bahkan masih ada yang belum tahu bahwa ini wajib. Informasi belum merata,” ungkap Beny.
Selain itu, banyak kampus beranggapan penyediaan layanan disabilitas membutuhkan biaya besar. “Padahal tak harus langsung sarana dan prasarana. Minimal bikin Unit Layanan Disabilitas (ULD) dulu. Kebutuhan itu disesuaikan dengan mahasiswa disabilitas yang ada,” katanya.
Belmawa, lanjut Beny, telah menyiapkan program bantuan pendirian dan penguatan ULD yang akan dilakukan secara berkala. Meski nilai bantuannya tak besar, program itu ditujukan untuk mendorong kampus memulai langkah konkret.
Ke depan, pemerintah juga berencana membangun sistem pengukuran inklusivitas kampus berbasis matriks.
“Nantinya akan ada skor. Dari situ bisa menjadi bentuk reward atau penguatan kebijakan,” ucap Beny.
Sementara itu, KND juga mendorong konsolidasi nasional agar berbagai matriks pengukuran inklusivitas yang sudah dikembangkan sejumlah kampus dapat disatukan menjadi instrumen bersama yang komprehensif.
Ditanya soal jumlah penyandang disabilitas yang berhasil lulus perguruan tinggi, Dante mengutip data SUSENAS 2023, sebanyak 2,8 persen dari total penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 22 juta jiwa.
Kondisi itu, ditambahkan Dante, diharapkan menjadi pengingat bahwa inklusivitas bukan sekadar membuka pintu masuk, tetapi juga memastikan mahasiswa penyandang disabilitas dapat belajar, berpartisipasi, dan berprestasi secara setara.
“Jangan sampai minat dan cita-cita penyandang disabilitas terhambat oleh sistem yang belum siap,” pungkas Dante. (Tri Wahyuni)

