Suara Karya

Korban Mafia Tanah “Menggeruduk” Datangi Mabes Polri

JAKARTA (Suara Karya) : Jengkel kepengurusan tanahnya belum rampung, Guru Besar IPB, Prof Ing Mokoginta bersama korban perampasan tanah yang tergabung dalam Forum Korban Mafia Tanah, Selasa (8/6) siang, menggeruduk Mabes Polri. Mereka mendesak polri segera menindak komplotan mafia tanah yang sudah dilaporkan para korban di berbagai Kepolisian Daerah.

Guru Besar IPB Prof Ing Mokoginta mengungkapkan kekecewaannya, karena hingga saat ini belum ada tersangka yang diperiksa penyidik Polda Sulawesi Utara. Padahal Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah terbit sejak tanggal 27 April 2021 namun baru pelapor yang diperiksa.

“Kami datang kembali ke Mabes Polri untuk mempertanyakan kenapa belum ada satu pun tersangka yang diperiksa penyidik. Padahal SPDP sudah terbit sejak 27 April lalu,” kata Ing Mokoginta di Mabes Polri, Jakarta.

Prof Ing juga mengungkapkan dalam surat penunjukkan jaksa tertulis sudah ada tersangka. “Namun kepada kami, penyidik mengatakan belum ada tersangka. Karena itu, Prof Ing berharap Mabes Polri mengawasi proses penyidikan kasus mafia tanah di Polda Sulawesi Utara. Kami berharap, laporan perampasan tanah kami segera dituntaskan.”

“Sebab, kami sudah berikan bukti-bukti pemalsuan dokumen di atas tanah kami seluas 1,7 ha di Kotamobagu sehingga terbit sertifikat di atas tanah kami. “Pak Kapolri kan sudah tegas untuk berantas beking mafia tanah, bukti-bukti sudah kami berikan, kenapa sampai tersangka belum juga diperiksa,” tambahnya.

Kabar terkini perkara Prof Mokoginta di Kotamobagu sudah ditindaklanjuti Dirtipidum Mabes Polri.

Trimurti Mahfudz korban perampasan tanah lainnya menjelaskan, tanah shm miliknya seluas 500 m2 di Kavling Polda Kalimantan Balikpapan dibuldozer sejak beberapa bulan lalu tanpa ada surat eksekusi dari pengadilan. Pada bulan november 2019, suaminya, Kolonel (Purn) Trianto pun meninggal dunia beberapa tahun lalu dan telah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan setempat.

Menurut Tri ada 120 orang purnawirawan yang tanahnya dirampas dan dibuldozer oleh pihak dilaporlan. Pada hari ini dia melapor ditemani Hamdan, seorang purnawirawan polisi.

Sementara itu Ketua FKMTI, SK Budiarjo menjelaskan, surat FKMTI sudah ditanggapi oleh pihak Mabes Polri. “Dalam pertemuan tadi, Mabes Polri mempertanyakan kenapa lambat sekali proses pemeriksaan? Kami disarankan untuk lapor ke Wasidik agar ada gelar perkara di Mabes Polri,” jelas Budi.

Budi berharap Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil tidak menerima disinformasi dari bawahannya sehingga salah dalam mengambil keputusan. (Warso)

Asmid Adukan Nasib Warga Muara Enim ke FKMTI Atas Mafia Tanah

JAKARTA (Suara Karya) : Ketua Relawan Jaringan Makmur Nusantara Provinsi Sumatera Selatan, Asmid mengadukan nasib warga Muara Enim, Sumsel, ke Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) di Jakarta, Minggu (6/6/2021 siang.

Kepada Ketua FKMTI SK Budiarjo dan Sekjennya Ahus Muldya, Asmid menyerahkan Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi. Surat terbuka tersebut berisi harapan warga agar Presiden Jokowi menolong mereka yang selama ini selalu diintimidasi oleh mafia tanah.

Asmid menjelaskan, Warga sebetulnya sudah berkirim surat secara resmi kepada presiden. Namun mereka khawatir, surat tersebut tidak sampai kepada presiden. Asmid menjelaskan, oknum perusahaan mengklaim tanah warga sudah masuk HGU. Padahal, warga telah turun temurun tinggal di desa tersebut sebelum Belanda menjajah Indonesia dan tidak ada pembebasan lahan sebagai prasayarat terbitnya HGU.

“HGU PT BS terbit tahun 93/94 seluas 8500 ha. Kami tinggal, berkebun turun temurun dari zaman Sriwijaya. Perusahaan pun baru membebaskan sekitar 5000 ha, tapi tanah 300 ha lainnya, milik rakyat diakui milik mereka. Ini namanya perampasan,” ungkapnya.

Sementara Ketua Relawan WLJ, Yanes Yosua mengingatkan, kasus yang menimpa warga Muara Enim tersebut merupakan contoh nyata bahwa perintah presiden tidak dilaksanakan jajarannya. Menurut Yanes modus mafia perampas yang terjadi di berbagai daerah adalah serupa, yaitu menguasai lahan milik rakyat dengan segala cara.

“Sejak Jokowi perintahkan selesaikan persoalan lahan, saya keliling Indonesia. Saya baru bertemu dengan warga Muara Enim, tapi modus perampasan tanahnya sama, ada yang diintimidasi, diseret ke pengadilan atau membeli tanah rakyat dengan harga murah. Kapolri juga sudah perintahkan berantas beking mafia tanah. Jadi jajaran di bawah tinggal laksanakan saja instruksi presiden. Tangkap saja mafia tanah itu,” tandasnya.

Ketua FKMTI SK Budi mengungkapkan, perampasan tanah adalah bentuk penjajahan gaya baru. Bahkan, lebih keji dari penjajah Belanda. “Saat dijajah Belanda, tanah dan kebun rakyat masih diakui hanya dimonopoli penjualan dan dipungut pajak. Tapi kini, rumah dan kebun rakyat pun dirampas. Rakyat yang tinggal turun temurun seolah menjadi penumpang gelap di negerinya sendiri. Mafia Perampas tanah itu anti Pansila dan perusak NKRI saya sendiri juga korban. kontainer saya hilang di atas tanah girik milik saya di Cengkareng yang diklaim masuk HGB Perusahaan,” ujarnya.

Sedangkan Sekjen FKMT, Agus muldya menjelaskan, persoalan perampasan tanah dapat dselesai dengan cara adu data kepemilikan tanah secara terbuka. FKMTI sudah melaporkan 11 kasus perampasan tanah di BPN dan 22 kasus ke kantor Kemenkopolhukam RI.

“Biar cepat selesai, adu data saja. Masa ada camat tidak mau memberikan keterangan bahwa tidak ada catatan jual beli girik C913 di Serpong seperti putusan inkrah pengadilan. Padahal ini dekat Jakarta, sudah teguran dari Komnas HAM, bagaimana nasib korban perampasan tanah yang jauh,” tandasnya.(Warso)

Related posts