JAKARTA (Suara Karya): Masih ada 30 persen sekolah terkendala dalam penerapan Kurikulum Merdeka. Padahal, kurikulum tersebut akan diterapkan secara nasional tahun depan.
“Kami sudah libatkan komunitas guru untuk membantu sekolah-sekolah yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusar Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), Zulfikri Anas di Jakarta, Senin (28/8/23).
Pernyataan Zulfikri Anas disampaikan dalam ‘Workshop Pendidikan: Sosialisasi Kurikulum Merdeka’ di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten.
Hadir sebagai pembicara kunci, anggota Komisi X DPR RI, Rano Karno.
Zulkifri menjelaskan, penerapam
Kurikulum Merdeka secara terbatas dilakukan sejak 2021di sejumlah Sekolah Penggerak yang ada di 111 kabupaten/kota. Pada 2022, mulai diterapkannya implementasi Kurikulum Merdeka untuk Jalur Mandiri.
Data Pusat Puskurjar Kemdikbudristek menunjukkan, hampir 70 persen satuan pendidikan di seluruh Indonesia telah menerapkan Kurikulum Merdeka melalui tiga jalur yaitu Program Sekolah Penggerak, SMK Pusat Keunggulan, dan Implementasi Kurikulum Merdeka Jalur Mandiri.
“Sisanya, yang 30 persen sekolah akan selesaikan dengan minta bantuan program Guru Berbagi atau komunitas-komunitas belajar. Informasi ini sudah disampaikan melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM), webinar, komunitas belajar, dan lainnya,” ucap Zulfikri.
Ditanya alasan 30 persen sekolah hingga kini belum menerapkan Kurikulum Merdeka, Zulfikri mengungkapkan, mereka masih belum yakin atas Kurikulum Merdeka. “Saat kunjungan kerja ke daerah, saya lihat komunitas belajar bersama guru penggerak aktif ke sekolah-sekolah,” ujarnya.
Karena itu, Zulfikri mengaku optimis penerapan Kurikulum Merdeka secara nasional tahun depan sesuai target. Karena Kurikulum Merdeka dirancang sesederhana mungkin, sehingga dapat diterapkan secara fleksibel dalam situasi apapun.
“Prinsip utama Kurikulum Merdeka adalah materinya sederhana, esensial, fleksibel, dan kontekstual serta relevan dengan kebutuhan peserta didik di daerahnya masing-masing,” tuturnya.
Kurikulum Merdeka juga fokus pada penguatan karakter. Hal itu memberi keleluasaan pada guru untuk berkreasi dalam kondisi apapun.
“Yang penting pembelajaran dapat meningkatkan kualitas hubungan antara guru dengan murid. Supaya murid punya keinginan belajar, cinta belajar, dan semangat belajar sepanjang hayat,” ujarnya.
Hal itu sesuai kodrat dan fitrahnya sebagai manusia. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda satu sama lain, karena itu mereka harus difasilitasi agar bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara.
“Pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan, kemerdekaan berpikir hendaknya diberikan kepada anak, agar mereka memiliki rasa percaya diri,” ucapnya.
Hal itu sejalan dengan Kurikulum Merdeka yang merangsang anak agar menerapkan olah hati, olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga. “Dalam situasi apapun, yang penting adalah mindset guru tidak lagi mengejar ketuntasan materi kurikulum, tapi membantu anak tumbuh dan berkembang sesuai potensi fitrahnya,” kata Zulfikri menandaskan.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Rano Karno memberi apresiasi terhadap implementasi Kurikulum Merdeka. Menurutnya, penyederhanaan kurikulum dalam kondisi khusus di masa pandemi telah memitigasi ketertinggalan pembelajaran atau learning loss.
Karena itu perubahan kurikulum penting untuk dilakukan secara lebih komprehensif sehingga terwujudlah Kurikulum Merdeka.
“Saya mengundang semua pihak untuk bersama-sama dalam perjalanan pendidikan yang menarik ini. Jadilah penggerak perubahan positif dan menjadi inspirasi bagi siswa, serta memberi sumbangsih bagi kemajuan pendidikan di Indonesia,” ujarnya.
Rano menyebut tiga prinsip pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka yang dinilai relevan. Pertama, pembelajaran intrakurikuler, yaitu pembelajaran yang dilakukan secara terdiferensiasi sehingga siswa dapat memahami konsep sesuai waktu yang dibutuhkan dan guru bebas memilih perangkat ajar yang sesuai karakter siswanya.
Kedua, pembelajaran kokurikuler, yaitu menerapkan projek penguatan profil pelajar Pancasila yang berfokus pada pengembangan karakter dan kompetensi umum siswa.
Ketiga, pembelajaran esktrakurikuler, yaitu pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan bidang yang diminati siswa dan sumber daya yang dimiliki satuan pendidikan.
“Jalan untuk memajukan pendidikan memang tidak selalu mudah. Mari kita bekerja sama untuk masa depan Indonesia yang lebih gemilang,” ucap Rano.
Salah satu peserta workshop, guru SMAN 1 Kabupaten Tangerang, Yuyun Supianti mengatakan, Kurikulum Merdeka dan pemanfaatan Platform Merdeka Mengajar bisa menjadi salah satu solusi untuk masalah pendidikan di Indonesia.
Terkait implementasi Kurikulum Merdeka dan projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, sekolahnya baru menjadi pelaksana implementasi Kurikulum Merdeka tahun ini, tetapi sudah membuat modul projek penguatan profil pelajar Pancasila dengan mengambil tema gaya hidup berkelanjutan.
SMAN 1 Kabupaten Tangerang membuat produk eco enzyme untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan lingkungan dan kebumian, termasuk masalah sampah dan polusi udara.
“Ternyata, penyemprotan eco enzyme bisa mengurangi polusi udara. Eco enzyme menjadi salah satu projek dalam penguatan profil pelajar Pancasila,” ujarnya.
Yuyun menjelaskan, Kepala SMAN 1 Kabupaten Tangerang, Jamilah, yang awalnya menginisasi projek eco enzyme. Kemudian projek itu dilakukan bersama para siswa untuk mengumpulkan sampah di sekolah untuk dimanfaatkan menjadi eco enzyme. (Tri Wahyuni)