JAKARTA (Suara Karya): Kolaborasi dan bersinergi dengan semua pemangku kepentingan sangat penting untuk memaksimalkan kearifan lokal dan komitmen keberlanjutan di Indonesia.
Demikian benang merah dari diskusi ‘Environmental Talk’ yang digelar Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, Rabu (24/7/24). Diskusi tersebut merupakan bagian dari perayaan Dies Natalis ke-8 SIL UI.
Direktur SIL UI, Tri Edhi Budhi Soesilo mengingatkan, pentingnya keberlanjutan lingkungan jelang peringatan 79 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia dengan tiga pilar yang harus ditegakkan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan.
“Upaya itu tentu saja tidak mudah. Butuh komitmen serius untuk melaksanakannya, tak sekadar narasi verbal,” ucapnya.
Budhi menambahkan, Indonesia adalah negara mega biodiversity yang memiliki keanekaragaman hayati paling kaya di dunia. Hal itu merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
“Indonesia juga menjadi negara kepulauan yang banyak memiliki gunung berapi, bahkan di dasar lautan. Tak heran, jika Indonesia menjadi begitu subur dan kaya akan mineral,” tuturnya.
Keistimewaan itu, lanjut Budhi, membuat wilayah Indonesia diperebutkan banyak negara. Untuk itu, pentingnya kolaborasi dan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, agar Indonesia tidak menjadi ‘bancakan’ dari negara besar.
Direktur Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Catur Endah Prasetiani menjelaskan, pemerintah membuka akses yang lebih luas untuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan melalui Program Perhutanan Sosial
Ditambahkan, Program Perhutanan Sosial terbukti berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik di dalam maupun sekitar hutan.
“Perhutanan sosial juga berdampak pada semakin akrabnya masyarakat. Kasus illegal logging dan perambahan lahan juga bisa dikurangi. Konflik lahan, pun bisa diselesaikan secara baik,” ujarnya.
Catur menyebut, pengelolaan hutan tetap harus memperhatikan kearifan lokal. Karena banyak contoh praktik kearifan lokal yang berdampak pada keberlanjutan di Hutan Adat.
Ia mencontohkan, Hutan Adat Ammatoa Kajang, Sulawesi Selatan dan Hutan Adat Depati Karo Jayo Tuo, Jambi.
Pada kesempatan yang sama,
Head of Partnership and Engagement APP Group, Trisia Megawati mengatakan, pihaknya memiliki program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) sebagai bentuk kolaborasi dengan masyarakat untuk keberlanjutan pengelolaan hutan.
“Sudah ada 441 DMPA yang melibatkan 350 UMKM dan 135 kelompok pemberdayaan perempuan. Bahkan, penerima manfaatnya sudah mencapai 87.500 orang,” tuturnya.
Trisia menjelaskan, program DMPA berperan penting dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan, perlindungan keanekaragaman hayati serta pencegahan perambahan dan deforestasi.
Melalui DMPA, masyarakat mendapat pendampingan untuk pertanian terintegrasi ramah lingkungan, sekaligus melakukan upaya pencegahan. Masyarakat pun mendapat manfaat berupa peningkatan kesejahteran secara ekonomi.
Menurut Trisia, program DMPA telah mendapat berbagai penghargaan, termasuk dari Program Kampung Iklim (Proklim) KLHK.
“Melalui Proklim, desa DMPA yang dibina APP Group ikut berkontribusi dalam aksi mitigasi perubahan iklim bahkan mendapatkan penghargaan Kampung Lestari,”katanya.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Ketua Komite Bidang Humas dan Kerja Sama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Sugijanto Soewadi; dan Executive Director Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Indah Budiani; dan Dosen SIL UI, Mahawan Karuniasa. (Tri Wahyuni)