JAKARTA (Suara Karya): Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) akan memperketat pengawasan terhadap produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Hal itu dilakukan seiring makin maraknya klaim yang menyesatkan seputar AMDK.
“Jadilah konsumen yang cerdas. Caranya, tidak ikut menyebarkan berita, artikel atau video yang tidak jelas asal usulnya di media sosial. Dampaknya, masyarakat terprovokasi, padahal informasi itu hoax,” kata Kepala BPOM, Penny K Lukito dalam acara Focus Group Discussion (FGD) tentang AMDK di Jakarta, Kamis (16/7/20).
Seperti diberitakan sebelumnya, masyarakat dikejutkan dengan peredaran video yang menyebutkan produk AMDK tertentu tak layak konsumsi karena bisa menghantarkan aliran listrik. Pernyataan itu diperkuat lewat percobaan dimana listrik menyala lewat colokan kabel yang dimasukkan dalam segelas air.
Pria dalam eksperimen itu mengatakan listrik bisa menyala karena terlalu banyak mineral dari hasil rebus besi dalam produk AMDK dengan merek ternama tersebut. Belakangan pria tersebut meminta maaf melalui media sosial, karena memberi pernyataan tanpa didukung oleh riset. Ia asal bicara demi menaikkan pamor produk AMDK yang dijualnya.
“Belum lagi beredarnya iklan terselubung dengan klaim menyesatkan bahwa AMDK tertentu mampu menyembuhkan beragam penyakit. Klaim itu kan berlebihan dan menyesatkan masyarakat,” ujarnya.
Penny menjelaskan, Indonesia saat ini memiliki 4 jenis AMDK yang terdiri dari Air Mineral Alami, Air Mineral, Air Demineral dan Air Minum Embun yang standarnya telah diatur dalam SNI. Data yang terdaftar di BPOM menyebut ada sekitar 7.780 produk AMDK. Sedangkan jumlah produsen di seluruh Indonesia mencapai 1.032 perusahaan.
Dari seluruh produk AMDK, lanjut Penny, sekitar 99,5 persen adalah produk dalam negeri. Jenis AMDK terbanyak adalah Air Mineral sebanyak 6.092 produk atau 78,30 persen. Sedangkan Air Demineral ada 1.492 produk atau 19,18 persen.
Untuk Air Mineral Alami hanya terdapat 45 produk atau 0,58 persen dan Air Minum Embun hanya 3 produk atau 0,04 persen. Selain 4 jenis AMDK, terdaftar air minum dengan pH tinggi sebanyak 148 produk atau 1,90 persen.
Masifnya produksi AMDK di Tanah Air, menurut Penny, membuat produk tersebut masuk dalam kategori pangan risiko tinggi. Selain banyak dikonsumsi masyarakat luas, bahan baku AMDK berpotensi mengalami cemaran karena adanya perubahan kondisi lingkungan.
“Untuk itu, pentingnya dilakukan pengawasan yang ketat terhadap produk AMDK saat ini dan di masa depan. Mengingat jumlah merek AMDK yang disetujui dan beredar di Indonesia semakin banyak,” katanya.
Penny menyayangkan setiap perusahaan AMDK memiliki standar yang berbeda-beda terkait produknya tersebut. Karena itu, pihaknya akan memperketat pengawasan agar masyarakat terlindungi dari produk AMDK yang tidak tepat kandungan mineral di dalamnya.
Penny kembali menegaskan, pihaknya akan terus memastikan keamanan dan mutu produk pangan berbasis air di sepanjang rantai pangan. Upaya itu antara lain, lewat regulasi yang responsif dan adaptif atas perkembangan yang ada.
“Di tingkat post-market, misalkan, pengawasan dilakukan berbasis risiko, penguatan laboratorium, metode dan kompetensi pengujian serta pemberdayaan masyarakat agar mau menjadi konsumen cerdas. Selain penindakan hukum bagi pelaku kejahatan untuk memberi efek jera,” tuturnya.
Untuk meningkatkan layanan publik, BPOM melakukan percepatan perizinan, antara lain lewat penyederhanaan proses registrasi. Meskipun demikian, aspek perlindungan terhadap masyarakat tetap menjadi fokus perhatian BPOM dengan memperkuat pengawasan post-market.
“Pengawasan AMDK meliputi aspek standardisasi produk dan standardisasi proses produksi. Standard produk dikembangkan lewat risk assessment yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan isu strategis,” katanya.
Pengawasan pre-market melibatkan beberapa pihak, antara lain Lembaga Sertifikasi Produk (LSPRO) sebagai penerbit sertifikat SNI (Standard Nasional Indonesia), UPT Badan POM sebagai penerbit sertifikat PSB (pemeriksaan sarana baru), Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai penerbit sertifikat halal, serta Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai penerbit sertifikat merek.
Setelah produk beredar, BPOM melakukan pengawasan post market yang terdiri dari pemeriksaan sarana produksi, pengawasan di peredaran yang meliputi pemeriksaan sarana distribusi/ritel, sampling dan pengujian, monitoring label dan iklan produk AMDK, serta kegiatan surveilans, termasuk penanganan kejadian luar biasa (KLB) atau keracunan akibat pangan.
“Keseluruhan siklus ini berkesinambungan untuk memastikan AMDK yang beredar aman dikonsumsi,” kata Kepala BPOM menandaskan. (Tri Wahyuni)