JAKARTA (Suara Karya): Dana Respons ASEAN untuk covid-19 akan dibuat lebih fleksibel dalam penggunaannya. Tak hanya penanganan covid-19 tetapi juga kedaruratan kesehatan masyarakat lainnya.
“Di masa damai, dana akan digunakan surveilans penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan di wilayah ASEAN,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemkes) Kunta Wibawa Dasa Nugraha disela kegiatan Forum ASEAN Finance and Health Minister Meeting (AFHMM) 2023 di Jakarta, Kamis (24/8/23).
Turut mendampingi Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK), Kemkes, Syarifah Liza Munira dan Kepala Pusat Kebijakan Kesehatan Global dan Teknologi Kesehatan, BPKP Kemkes, Bonanza P Taihitu.
AFHMM yang berlangsung selama 2 hari itu merupakan agenda lanjutan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin ASEAN ke-42 yang diselenggarakan di Indonesia pada Mei 2023 lalu.
Hasil KTT menggarisbawahi pentingnya memperkuat arsitektur kesehatan regional melalui peningkatan koordinasi dan kolaborasi antara negara-negara anggota ASEAN, organisasi terkait, pemangku kepentingan di berbagai sektor pada manusia, hewan, tumbuhan, dan kesehatan lingkungan (One Health).
Hadir membuka AFHMM 2023 yang diikuti 10 negara anggota ASEAn, termasuk Indonesia adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Para menteri yang hadir dalam AFHMM juga sepakat untuk mempercepat penyelesaian perjanjian pembentukan dan tahap persiapan The ASEAN Center for Public Health Emergencies and Emerging Diseases (ACPHEED).
Soal Dana Respons, Kunta menjelaskan, para menteri sepakat untuk kembali membuka donasi tak hanya dari kocek negara-negara anggota ASEAN, tetapi bisa dari luar ASEAN, termasuk lembaga keuangan global.
“Dana Respons ini menerima donasi secara terbuka. Dana itu diharapkan bisa menjadi semacam IMF di sektor keuangan, yang bisa menggelontorkan dana dengan cepat begitu ada negara yang mengalami krisis keuangan” tuturnya.
Ditanya besaran Dana Respons yang tersedia, Kunta menyebut angkanya tidak terlalu besar, sekitar 10 juta dolar. Karena itu, lewat kegiatan ‘open donation’ diharapkan dana tersebut akan bertambah.
“AFHMM juga membahas mekanisme dan kriteria penggunaan Dana Respons di masa pandemi dan di masa non pandemi. Sehingga masing-masing negara paham jika proposal kegiatan yang diajukan ke Dana Respons bisa saja tertolak,” katanya.
Kunta menceritakan pengalaman Indonesia yang tidak bisa mengakses dana tersebut di masa pandemi, meski menjadi salah satu negara pencetus pembentukan Dana Respons untuk Covid-19.
“Indonesia tidak bisa mengakses Dana Respons karena dinilai memiliki uang, sumber daya dan akses terhadap obat-obatan dan vaksin. Karena itu dana diberikan ke negara-negara yang membutuhkan,” ujar Kunta.
Pandemi covid-19 selama hampir 3 tahun memberi pelajaran tentang pentingnya pencegahan, yang dapat meredam dampak yang lebih besar dan luas di sektor kesehatan dan ekonomi.
“Setiap negara memiliki kapasitas yang berbeda-beda, sehingga keberadaan Dana Respons ini bisa mengisi kesenjangan kapasitas masing-masing negara anggota ASEAN,” ucap Kunta menandaskan. (Tri Wahyuni)