JAKARTA (Suara Karya): Kunci memperkuat ekosistem hutan wakaf di Indonesia terletak pada jejaring nazhir (pengelola) hutan wakaf. Untuk itu, pentingnya dibuat tata kelola yang lebih profesional bagi para nadzir agar Gerakan Wakaf Hutan berkembang lebih luas lagi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) bertema ‘Pengembangan Ekosistem Hutan Wakaf dan Wakaf Hutan di Indonesia’, yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) bersama Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) dan Badan Wakaf Indonesia, di Jakarta, Senin (21/4/25).
Kegiatan dihadiri nazhir hutan wakaf dari berbagai daerah termasuk Aceh, Bogor, Tasikmalaya, Gunungkidul, Wajo dan Mojokerto.
FGD diharapkan dapat menyelaraskan pandangan para nazhir yang telah mengelola hutan wakaf serta merumuskan langkah strategis bagi pengembangan hutan wakaf serta Gerakan Wakaf Hutan di Indonesia.
Selain itu, menciptakan pondasi untuk peta jalan pengelolaan hutan wakaf yang lebih sistematis dan kolaboratif ke depan.
Dirjen Bimbinhan Masyarakat Islam, Kemenag, Prof Abu Rokhmad dalam sambutannya mengatakan, Kemenag juga memiliki perhatian yang besar pada isu iklim. Pihaknya ingin menerjemahkan berbagai ayat dan hadist, termasuk agama-agama yang lain menggunakan pendekatan-pendekatan khas ekoteologi.
“Kita punya nilai-nilai agama yang luar biasa, tetapi sayangnya umat masih jauh dari itu. Untuk itu, perlu dibangun satu teologi khusus mengenai alam,” ujarnya.
Prof Abu Rokhmad menambahkan, pelestarian lingkungan khususnya hutan harus menjadi kesadaran semua umat. Untuk itu, Pemerintah perlu bersinergi guna mendorong ekosistem Wakaf Hutan yang lebih baik.
“Pentingnya membangun kolaborasi dengan kementerian terkait. Kemenag siap mendukung dari sisi kebijakan, jangan sampai ada gap antara apa yang kita dukung dengan kebijakan yang dikeluarkan,” ucapnya.
Menanggapi konsep ekoteologi, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Assoc. Prof Irfan Syauqi Bek menilai, konsep tersebut memang luar biasa.
“Tak sekadar diskursus akademik, tetapi juga merefleksikan satu konsep, bahwa sebenarnya melindungi lingkungan itu adalah bagian dari keimanan. Hablul minal alam (hubungan manusia dengan alam semesta) menjadi indikator apakah kita patuh kepada Allah SWT atau tidak,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Prof Irfan, inisiatif seperti Hutan Wakaf perlu mendapat dukungan yang besar. Ia mengutip laporan Asian Development Bank (ADB) yang nenyatakan, tidak ada ikhtiar maksimal, maka setiap negara akan berpotensi kehilangan Produk Domestik Bruto (PDB).
“Kalau pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, kalau tidak memperhatikan aspek lingkungan akan berat. Karena ada ‘reverse effect’,” tuturnya.
Menurut Prof Irfan, Indonesia akan kehilangan 5 persen PDB hingga 2035. Angka itu akan naik dalam hitungan 15 tahun kedepan, hingga dua kali lipat hingga 30 persen pada 2070.
Meski demikian, Prof Irfan menyampaikan tiga usulan agar isu iklim tidak menimbulkan masalah di masa depan. Pertama, perlunya mengembangkan nazhir governance atau tata kelola pengelolaan nadzir yang profesional.
“Hal itu termasuk Good Nadzir Governance Index untuk mengukur kualitas level tata kelola, meningkatkan kemampuan kelembagaan nazhir untuk beradaptasi dan berkolaborasi serta sinergi seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya.
Alasannya, hutan wakaf adalah sebuah inovasi wakaf produktif berbasis ekologi yang bertujuan melestarikan lingkungan sekaligus memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan.
Inisiatif itu telah tumbuh di beberapa daerah, menunjukkan potensi besar sebagai solusi wakaf kontemporer yang relevan dengan isu lingkungan dan pembangunan hijau.
Hal senada dikatakan Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Kemenag, Prof Waryono Abdul Ghofur. Ia memberi apresiasi atas inisiatif yang disampaikan Prof Irfan Syauqi Bek.
“Kami di Kementerian Agama sampai perguruan tingginya, untuk diskusi Islam dan lingkungan hidup itu sudah tuntas, tetapi belum banyak aksi,” ungkapnya.
Untuk itu, Prof Waryono menilai, perlunya memperbanyak dan memperluas jejaring kolaborasi. Karena Gerakan Wakaf Hutan perlu didorong untuk tak sekadar diskursus, namun bisa terwujud menjadi aksi.
“Perlu adanya roadmap pengembangan wakaf hutan. Milestones-nya seperti apa? Hal itu perlu dirumuskan agar langkah-langkah kita kedepan lebih sistematis, dan tidak sporadis,” ungkapnya.
Pada Maret 2025 lalu, MOSAIC bekerja sama Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Kementerian Agama menggelar Roadshow Lokakarya Wakaf Hutan di 4 Kota Wakaf yaitu Wajo, Gunungkidul, Tasikmalaya dan Padang.
Roadshow itu bertujuan untuk menularkan semangat Wakaf Hutan di 4 Kota Wakaf yang telah dicanangkan Kementerian Agama.
Ketua MOSAIC, Nur Hasan Murtiaji menjelaskan, peserta roadshow di 4 Kota Wakaf terlihat cukup antusias, karena ada alternatif wakaf dalam bentuk yang lain.
Jika bicara aspek perusahaan, perlu ada edukasi yang menghubungkan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) atau Environment, Social, Governance (ESG). Karena potensi di 2 program tersebut sangatlah besar.
“Kami berharap, FGD ini menghasilkan roadmap pengelolaan hutan wakaf secara nasional. Dan dampak dari sisi nasional dan lokal kedaerahannya. Upaya ini harus kita kerjakan secara serius, tentu saja didukung Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia, dan media. Kolaborasi ini akan berdampak besar,” katanya.
MOSAIC berencana membuat FGD lanjutan dengan mengundang multipihak, termasuk kementerian dan lembaga terkait, sektor swasta, BUMN, akademisi dan NGO. Pendapat mereka akan jadi masukan dalam pembuatan roadmap.
“Selain mengeksplorasi daya dukung dari multipihak yang dibutuhkan untuk memenuhi ambisi peta jalan tersebut,” kata Nur Hasan menandaskan. (Tri Wahyuni)