Suara Karya

Kemkes Beri STR Seumur Hidup bagi 7 Dokter Spesialis Indonesia Lulusan Luar Negeri

JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Kesehatan (Kemkes) memberi Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup bagi 7 dokter spesialis Indonesia lulusan luar negeri, sebagai salah satu bukti telah menyelesaikan proses adaptasi agar bisa praktik di Indonesia.

“Hari ini ada 7 dokter yang mendapat STR seumur hidup, dari total 32 dokter spesialis yang ikut dalam proses adaptasi,” kata Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin dalam acara yang digelar di Jakarta, Senin (16/12/24).

Ke-7 dokter spesialis itu terdiri atas 3 dokter spesialis ortopedi dan traumatologi (SpOT), 3 dokter spesialis penyakit dalam (SpPD), dan 1 dokter spesialis obgyn (SpOG).

Menkes menjelaskan, proses adaptasi bagi dokter lulusan luar negeri merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis di dalam negeri.

“Dunia saat ini lagi kekurangan dokter spesialis, termasuk Indonesia. Karena itu, kita sedang ‘tarik’ dokter spesialis Indonesia yang bekerja di luar negeri untuk kembali di Tanah Air lewat proses adaptasi ini,” tuturnya.

Menkes memberi apresiasi kepada para dokter spesialis yang mau kembali ke Tanah Air, serta berharap mereka dapat mengajak sejawat diasporanya untuk kembali dan turut berbakti pada Indonesia.

“Saat ini baru ada 32 dokter spesialis dalam proses adaptasi. Semoga tahun depan ada 100 atau 200 dokter yang mau berbakti buat negara. Masyarakat sangat butuh dokter spesialis, karena telat penanganan taruhannya nyawa,” ucap Menkes.

Budi menjelaskan proses adaptasi ini memudahkan pemenuhan kebutuhan tersebut, mengingat kursi pendidikan spesialis di Indonesia sangat sedikit, bahkan sudah penuh, sedangkan di luar negeri banyak tersedia.

“Terima kasih kepada kolegium-kolegium yang telah membantu menyukseskan program adaptasi tersebut,” ujarnya.

Ke depan, untuk memastikan para dokter adaptasi lulusan luar negeri mau mengisi kekosongan dokter di Indonesia, pihaknya akan membuat mekanisme agar dokter yang ikut program adaptasi mau ditempatkan di lokasi yang belum memadai tenaga medisnya di Indonesia.

Tak hanya itu, Menkes juga menyediakan beasiswa bagi dokter-dokter Indonesia yang ingin menempuh pendidikan spesialis di luar negeri. Tapi, setelah itu harus kembali ke Indonesia.

“Dengan harapan begitu lulus, mereka segera kembali ke Indonesia. Proses kembalinya pun sudah dipermudah, serta tidak dipungut biaya. Para dokter juga digaji sebagai profesional,” katanya.

Upaya lainnya, Kemkes juga mulai memperbanyak pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit atau hospital-based. Mereka adalah para dokter telah bekerja di daerah-daerah, namun berpendidikan dokter spesialis.

“Kami berikan afirmasi, dapat beasiswa belajar, biaya hidup ditanggung, tapi syaratnya begitu lulus mau ditempatkan di daerah-daerah di Indonesia,” pungkasnya.

Salah satu diaspora dokter yang mau kembali adalah Andreas Winarno. Meski sudah hidup mapan di Jerman, ia mengaku ikut program adaptasi pada 2022 karena ingin kembali ke Indonesia.

“Sebenarnya niat kembali ke Indonesia sudah lama, tapi syaratnya rumit. Banyak meja yang harus didatangi, tentu biayanya tidak sedikit,” ungkapnya.

Niat itu kemudian ada jalannya. Ia mendengar ada program adaptasi bagi dokter spesialis di luar negeri yang ingin kembali ke Indonesia.

“Saya tak ragu mendaftar hingga kemudian ditugaskan di RSUD Otaha, Gorontalo selama 2 tahun,” tutur dokter Obgyn dari Universitas Heinrich Heine, Düsseldorf, Jerman.

Reputasi dokter Andreas di luar negeri diatas rata-rata, karena memiliki publikasi yang signifikan dalam bidangnya, dengan 543 kutipan dan 10 publikasi. Selain itu, ia tercatat memiliki 14 kutipan dan 6 publikasi lainnya.

Andreas yang akan praktik di RS Bali Internasional Hospital setelah proses adaptasi memberi apresiasi atas terobosan yang dilakukan Menkes Budi Gunadi Sadikin, terutama pada program adaptasi dan program dokter spesialis berbasis rumah sakit.

“Saya adalah lulusan dari program dokter spesialis berbasis rumah sakit di Jerman. Di sana, dokter mengambil 2-3 jenis spesialis adalah hal biasa. Tapi di Indonesia mungkin belum bisa,” kata Andreas menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts