JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah petani didampingi penyuluh berwawasan Pertanian Cerdas Iklim/Climate Smart Agriculture [CSA] di Kabupaten Lombok Tengah mengambil sampel emisi Gas Rumah Kaca [GRK] pada lahan kelompok tani [Poktan] Bunut Serempek III di Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Provinsi Nusa Tenggara Barat [NTB] belum lama ini.
Mereka mengambil sampel emisi GRK pada lokasi Scalling Up CSA Program SIMURP dan lahan konvensional [Non CSA] guna membandingkan emisi GRK pada perlakuan lahan CSA dan Non CSA. Guna menempa kemampuan dan ketangguhan petani terhadap perubahan iklim, dengan menekan emisi GRK sehingga produktivitas tanaman meningkat dan pendapatan petani pun turut terungkit.
Upaya tersebut tujuan pengembangan Pertanian CSA dari Kementerian Pertanian RI bersama Program Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Project [SIMURP] yang didukung pembiayaan Bank Dunia dan Bank Investasi Infrastruktur Asia [AIIB] di Indonesia.
Project Manager SIMURP, Sri Mulyani mengatakan penerapan CSA pada lahan Demplot Scalling Up bertujuan meminimalisir emisi GRK gas metana [CH4] dan nitrogen oksida [N2O] untuk menekan dampak perubahan iklim global.
Pengembangan CSA sejalan arahan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahwa menjaga lingkungan juga sangat penting dilakukan dalam aktivitas pertanian.
“Di balik produktivitas yang kita genjot, lingkungan harus diperhatikan, yang bisa kita lakukan adalah menurunkan emisi gas rumah kaca atau GRK,” katanya.
Sementara Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementan [BPPSDMP] Dedi Nursyamsi mengatakan Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan upaya sendiri di bawah business as usual [BAU] pada 2030, sementara dengan dukungan internasional hingga 41%.
“Kita butuh aksi adaptasi. Setiap aksi yang dilakukan, untuk mengantisipasi dampak buruk perubahan iklim serta menjaga kedaulatan pangan. Hal ini menjadi prioritas utama pembangunan pertanian,” katanya.
Kepala Pusat Penyuluhan Pertanian BPPSDMP Kementan [Pusluhtan] Bustanul Arifin Caya mengatakan, dibutuhkan aksi mitigasi, dimana setiap aksi harus bertujuan pada penurunan emisi GRK, juga mendukung upaya peningkatan produksi dan produktivitas pertanian.
“Sudah ada inovasi teknologi mitigasi GRK yang diterapkan petani seperti menerapkan pengairan berselang, penggunaan bahan organik matang, varietas padi rendah emisi metana paket teknologi CSA.” katanya.
Ada pula sistem integrasi tanaman dan ternak, kata Bustanul, berupa Paket CSA, penggunaan kalender tanam, olah tanah bajak dalam, pemberian bahan organik, penggunaan Perangkat uji tanah sawah [PUTS] dan Bagan Warna Daun [BWD], pemanfaatan bibit unggul bermutu, bibit usia muda, jarak tanam legowo dan pengairan intermittent.
Project Manager SIMURP, Sri Mulyani menyebut tiga sasaran pencapaian CSA yakni peningkatan Indeks Pertanaman [IP], produktivitas dan pendapatan sektor pertanian, adaptasi dan membangun ketangguhan terhadap Dampak Perubahan Iklim (DPI), dan berupaya mengurangi hingga meniadakan emisi GRK.
Sri Mulyani mengatakan penurunan emisi GRK rata-rata 37% di lokasi Demplot CSA SIMURP, yang direkomendasi oleh Balai Penerapan Standar Instrumen [BPSI] Pati.
“Budidaya padi sawah merupakan salah satu sumber emisi GRK, yakni gas metan [CH4] yang dilepas dari lahan persawahan tergantung jenis tanah, kelengasan tanah, suhu tanah dan varietas padi,” katanya. (Boy)

