JAKARTA (Suara Karya): Isu pangan dan energi menjadi sumber konflik terbesar di dunia, yakni sekitar 70 persen. Oleh karena itu, maka ketahanan pangan sudah seharusnya menjadi kepentingan nasional utama yang harus terus diperjuangkan.
Demikian dikatakan Ketua Umum Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, dalam focus group discussion (FGD) “Mengurangi Food Loss dan Food Waste untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional”, Jumat (17/11/2023).
Menurut Pontjo, pangan merupakan kebutuhan dasar (basic needs) manusia, baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, sosial, dan keamanan nasional. Karenanya, pangan menjadi isu strategis global yang bisa menjadi sumber konflik bahkan perang antar negara.
Terlebih kata dia, program “Sustainable Development Goals (SDGs)” yang merupakan komitmen global sekaligus juga komitmen Indonesia.
“SDGs telah menetapkan salah satu tujuannya yang harus dicapai pada tahun 2030 yaitu: “Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan,” kata Pontjo.
Lebih lanjut Pontjo menjelaskan, bahwa berbagai fenomena global seperti perubahan iklim (climate change), pandemi covid-19, berbagai konflik termasuk perang Rusia-Ukraina, serta fenomena El-Nino yang berkepanjangan, telah menyebabkan krisis pangan mengancam banyak negara termasuk Indonesia karena terjadi penurunan produksi, kenaikan harga pangan, kenaikan biaya produksi, gangguan distribusi pangan dan restriksi ekspor negara lain.
Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (GFSI) dari The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dipublikasikan pada Desember 2022, ketahanan pangan Indonesia dengan skor 60,2 berada di posisi 63 dari 113 negara. Ketersediaan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Keadaan ini tentu masih memprihatinkan.
Dikatakan Pontjo banyak negara untuk memenuhi ketersediaan pangannya dilaksanakan melalui swasembada dengan cara memproduksinya di dalam negeri. Konsep swasembada pangan dipandang sebagai salah satu cara efektif dalam mencapai ketahanan pangan suatu negara, sehingga negara tersebut memiliki kontrol yang besar terhadap pasokan pangannya dan tidak tergantung pada pasar internasional.
Namun fenomena perubahan iklim telah mengancam produksi dan ketersediaan pangan. Menghadapi fenomena ini, ada kebutuhan untuk membangun sistem produksi berkelanjutan (sustainable) tanpa terpengaruh oleh perubahan iklim. Untuk itu, pemerintah diharapkan mengambil kebijakan khusus berupa perlindungan terhadap para petani yang mengalami gagal panen serta mendorong pengembangan inovasi teknologi pertanian dan pangan.
“Terganggunya ketersediaan pangan dalam negeri, dapat dilakukan dengan kebijakan impor secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek ‘kemandirian dan kedaulatan pangan’ sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Oleh karena itu, kebijakan impor pangan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya apa yang disebut ‘state capture’ atau “state capture corruption’,” ujarnya.
Pontjo menjelaskan, state capture merupakan tindakan untuk mengkooptasi, mengintervensi, dan mendominasi kebijakan negara melalui suap dan tekanan. State capture, dapat juga terjadi di sektor pertanian dan pangan, karena kebijakan dalam sektor pertanian dan pangan masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum pencari rente. Khususnya terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor.
“Pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya juga tidak bergantung hanya pada beras dan gandum. Apalagi Indonesia saat ini masih bergantung 100 persen dengan gandum impor. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia masih impor gandum mencapai 10,2 juta ton dengan nilai US$ 2,6 miliar. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah karena besarnya permintaan produk gandum di tanah air,” katanya.
Untuk itu, diversifikasi produk pangan menjadi penting dilakukan dalam rangka membangun ketahanan pangan yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal. Indonesia sangat kaya dengan varian tanaman pangan lokal yang bisa ditanam dan tumbuh seperti sagu, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan lain-lain. Inovasi teknologi bisa menjadi jawaban atas persoalan ini agar Indonesia tidak bergantung pada satu atau dua produk makanan pokok saja.
Dengan demikian, maka menjadi penting untuk mendorong perbaikan tata kelola, transparansi dan akuntabilitas investasi publik sektor pertanian dan pangan sehingga memberikan manfaat berupa peningkatan produksi pangan dalam negeri dan perbaikan kesejahteraan petani. Perbaikan tersebut tentu saja harus dimulai dengan perbaikan kebijakan dan program yang ada, khususnya pada investasi publik yang dilakukan oleh negara pada sektor pertanian dan pangan. (Boy)