JAKARTA (Suara Karya): Masyarakat diingatkan untuk tidak menyimpan makanan matang, terutama jenis daging dan ikan dalam suhu ruang lebih dari 2 jam. Karena pada kondisi itu, mikroba dapat memperbanyak diri sehingga potensial terkena keracunan pangan.
“Waktu 2 jam itu aturan internasional. Untuk Indonesia yang tropis, waktunya boleh sampai 4 jam,” kata Guru Besar Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Harsi Dewantari Kusumaningrum dalam diskusi media terkait Hari Kesehatan Lingkungan Sedunia, di Jakarta, Rabu (26/9).
Acara dibuka Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari.
Harsi menambahkan, semua makanan juga harus disimpan dalam kondisi tertutup agar terhindar dari lalat, debu dan pencemaran. Dan yang tak kalah penting, tangan atau alat yang akan digunakan menyentuh makanan juga harus dalam kondisi bersih.
“Selama ini ada perilaku yang salah di masyarakat, yaitu membersihkan tangan pakai tisu basah sebelum makan. Tetapi baru cuci tangan dengan air dan sabun setelah makan. Ini jadi terbolak-balik,” ujarnya.
Semua pangan matang dan mudah rusak, lanjut Harsi, sebaiknya disimpan dalam kulkas dengan suhu dibawah 5 derajat celcius. Saat akan dikonsumsi baru dipanaskan dengan suhu lebih dari 60 derajat celcius. “Sebagian besar mikroba tak dapat bertahan pada suhu tinggi,” ucapnya.
Ditanya dampak atas kesalahan perilaku itu, Harsi mengatakan, pada orang dengan kondisi tubuh yang sehat, mikroba atau kuman akan keluar dari tubuh. Jika tidak, kuman atau mikroba itu akan menimbulkan keracunan.
‘Kasus keracunan pangan jarang terjadi di rumah, tetapi dalam acara keluarga, sekolah atau lingkungan saat makan besar,” ujarnya.
Ditanya berapa kali semua pangan boleh dipanaskan, Harsi menegaskan, 2 kali saja. Lebih dari itu, terutama makanan yang digoreng, nutrisinya akan hilang. Penggorengan lebih dari 2 kali juga berpotensi terkena penyakit karena bersifat karsinogenik.
“Semua orang harus tahu tata kelola dapur yang baik. Seperti, jangan pakai pisau bekas potong daging untuk sayuran mentah yang akan dikonsumsi. Jangan mencampur makanan matang dengan mentah. Biasakan cuci tangan dengan sabun setelah buang air besar,” ucapnya menegaskan.
Selain itu, penting terutama bagi ibu rumah tangga maupun usaha makanan kecil dan menengah untuk menyajikan makanan sesuai kebutuhan, pada jam yang tepat. Agar tak ada makanan yang terbuang, karena dianggap sudah tak layak makan.
“Begitu selesai masak, tunggu agak dingin, lalu simpan makanan matang dalam wadah-wadah kedap udara sebelum masuk kulkas. Ambil porsi yang sesuai, lalu simpan lagi. Itu lebih baik dibanding menyajikan dalam jumlah besar sekaligus di meja makan,” tuturnya.
Untuk industri pangan besar seperti restoran ayam siap saji, menurut Harsi, umumnya mereka sudah lebih patuh pada aturan internasional tersebut. Pengawasan harus dilakukan pada usaha makanan skala rumah seperti warteg atau kantin sekolah dan kampus.
“Ada beberapa dari mereka yang “ngeyel” jika dikasih tahu soal aturan internasional ini. Seakan mikroba yang tak kasat mata itu cuma isapan jempol. Saat kami paparan bentuk mikroba atau kuman dengan bantuan teknologi, baru pada sadar,” kata Harsi.
Sementara itu Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kirana Pritasari menuturkan, kasus keracunan makanan masih tinggi di Indonesia. Pada 2017, angka keracunan pangan mencapai 23 persen dari total kejadian luar biasa (KLB) penyakit dan keracunan pangan.
“Pada 2016 tercatat ada 106 kejadian keracunan makanan maupun penyakit. Angkanya bertambah pada 2017 menjadi 163 kasus. Dari jumlah itu terbanyak di Jawa Barat, lalu Jawa Tengah dan Jawa Timur,” kata Kirana menandaskan. (Tri Wahyuni)