JAKARTA (Suara Karya): Universitas Pertamina (UPER) ditunjuk United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) sebagai Koordinator Nasional Global Greenchem Innovation and Network Programme (GGINP) di Indonesia.
Program yang melibatkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Yale University Amerika itu dibuat untuk mengurangi risiko penggunaan bahan kimia berbahaya di industri.
Direktur Industri Kimia Hulu, Kementerian Perindustrian, Wiwik Pudjiastuti dalam sambutannya pada peluncuran GGINP, di Jakarta, Rabu (29/5/24) berharap setiap industri memperhatikan kelestarian lingkungan dalam proses produksinya.
“Program yang digagas sejak 2019 akhirnya bisa diwujudkan tahun ini. Program ini juga diikuti 6 negara inisiator lainnya, guba mendorong industri untuk beralih ke ‘green chemistry’ demi meraih pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.
Ketua Tim Kerja Fasilitasi Kelembagaan Otoritas Nasional Senjata Kimia dan Manajemen Pengelolaan Bahan Kimia, Direktorat Industri Kimia Hulu, Kementerian Perindustrian, Raditya Eka Permana menjelaskan, GGINP adalah inisiatif global yang berfokus pada penerapan kimia hijau (green chemistry) dalam menghasilkan produk keseharian yang lebih ramah lingkungan.
“Kegiatan berfokus pada pengurangan zat berbahaya demi keberlangsungan lingkungan,” ujarnya.
GGNIP merupakan program dari UNIDO dan Yale University serta 6 negara inisiator yaitu Indonesia, Uganda, Ukraina, Yordania, Peru dan Serbia.
Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengembangan dan Kerja Sama Universitas Pertamina, Prof Djoko Triyono menyampaikan, insiatif GGINP selaras dengan nilai Universitas Pertamina yang mengedepankan pembelajaran berbasis keberlanjutan.
“Sebagai koordinator nasional dalam pengembangan green chemistry, Universitas Pertamina siap bersinergi. Hal itu tercermin dalam pengajaran, yaitu program studi kimia dengan peminatan inovasi material dan petro-oleo kimia dan bioteknologi,” ujarnya.
Dalam peminatan tersebut, UPER mendesain sistem pembelajaran yang menekankan pada prinsip green chemistry dalam aktivitas industri serta mengembangkan solusi, lewat penggunaan sumber daya alam yang ramah lingkungan dan efisien secara berkelanjutan.
“Diharapkan mahasiswa memiliki bekal yang cukup dalam mencapai keberlanjutan tersebut,” ucap Prof Djoko.
Ditambahkan, UPER juga mengembangkan Sustainability Center dan mempersiapkan program Magister (S2) yang berfokus pada keberlanjutan sebagai akselerator green chemistry di Indonesia.
Peluncuran GGINP yang mengangkat tema ‘Green Energy Summit: The Global Impact of Green Chemistry Implementation on Sustainable Development and It’s Challanges’ diharapkan menjadi ajang diskusi bersama pelaku industri, pemerintah dan akademisi untuk mengeksplorasi prospek penerapan green chemistry di Indonesia.
Program Manager dari Center for Green Chemistry and Green Engineering dari Yale University, Lars Ratjen menyebut, setidaknya ada 3 tantangan dalam penerapan green chemistry.
“Peralihan dalam penerapan kimia hijau dari kimia konvensional akan dihadapi pada beberapa tantangan seperti masih banyaknya pelaku industri yang belum paham atas green chemistry,” ujarnya.
Selain itu, bahan dasar green chemistry terbilang cukup mahal dan masih terbatas. Sehingga kolaborasi antar pemangku kepentingan industri, pemerintah serta para ahli dibutuhkan untuk dapat mewujudkannya.
Badan kesehatan dunia WHO melaporkan, pada 2019 ditemukan sekitar 2 juta kematian akibat masalah kesehatan yang disebabkan bahan kimia. Dalam rentang tahun 2000- 2020 terdapat 1.000 insiden teknologi yang disebabkan bahan kimia hingga berdampak pada 1,85 juta orang. (Tri Wahyuni)

