Suara Karya

Penderita TBC Rentan Terkena Covid-19, Jauhi Dari Kerumunan Orang

JAKARTA (Suara Karya): Penderita tuberkulosis (TBC) paling rentan terhadap penularan virus corona (covid-19). Untuk itu, keluarga diingatkan agar menjauhkan penderita TBC dari kerumunan orang.

“Kami sedang menyiapkan skema pelayanan agar pasien TBC resisten obat (RO) tak harus pergi ke rumah sakit setiap hari untuk berobat,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan, Wiendra Waworuntu saat telekonferensi, di Jakarta, Rabu (25/3/20).

Untuk itu, lanjut Wiendra, rumah sakit harus menerapkan strategi Temukan-Pisahkan-Obati (Tempo) untuk tatalaksana TBC. Hal iti bisa juga digunakan sebagai pembelajaran untuk Covid-19. Dalam pengendalian TBC, ketika pasien batuk datang ke rumah sakit, petugas medis harus melakukan triase saat penerimaan awal, merujuk pada gejala utama TBC.

“Jika penderita TBC batuk lebih dari 2 minggu, pasien harus diberi masker dan edukasi tentang etika batuk,” ujarnya.

Selain itu, menurut Wiendra, penderita TBC harus menunggu di ruang terpisah dari pasien umum. Ruangan harus memiliki ventilasi yang baik sebelum dilayani. Di samping pelayanan, riset implementasi juga memiliki peran penting dalam penanggulangan TBC.

“Tatalaksana TBC ini penting, karena pasien TBC dalam masa pengobatan harus minum obat setiap hari secara teratur dan menjaga daya tahan tubuh. Dibutuhkan peran komunitas dalam skema pengobatan TBC, terutama bagi pasien TBC RO,” katanya.

Wiendra mengimbau pemangku kepentingan untuk lebih sinergis dalam melakukan promosi dan pencegahan penyakit. Pesan etika batuk dan Germas yang ada dapat dimanfaatkan oleh para mitra penggiat kesehatan sebagai implementasi di lapangan.

“Saat melakukan investigasi kontak pasien TBC, jangan lupa menggunakan alat pelindung diri seperti masker dan mencuci tangan secara rutin. Hal itu untuk mencegah penularan kuman TBC dari pasien kepada petugas medis,” katanya.

Penyakit TBC hingga kini masih menjadi beban kesehatan di Indonesia. Setiap tahun ada sekitar 100 juta penduduk di dunia jatuh sakit akibat kuman mycobacterium tuberculosis (TBC). Di Indonesia, pasien TBC diperkirakan sekitar 845 ribu orang.

“Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan Tiongkok,” tuturnya.

Di saat bersamaan, lanjut Wiendra, Indonesia juga sedang menghadapi pandemi covid-19. Kondisi ini harus mendapat perhatian serius oleh pasien TBC. Karena kedua penyakit itu tergolong penyakit pernapasan yang menular melalui droplet (percikan).

Penyakit TBC sama seperti covid-19, yaitu banyak menyerang orang tua dan orang dengan kondisi kesehatan khusus seperti gangguan kronis pada paru, bahkan pada anak-anak. Beberapa gejala TBC seperti batuk, demam dan merasa lemas juga dialami pasien covid-19.

“Kondisi ini menyadarkan betapa rentannya jika pasien TBC tidak berobat, karena daya tahan tubuh dan kondisi paru mereka rentan terkena infeksi,” kata Wiendra.

Hal senada dikemukakan Komite Ahli Tuberkulosis, Pandu Riono. Katanya, modalitas penularan TBC dan Covid-19 sangat mirip. Karena itu, berbagai sumber daya di manajemen pelayanan TBC bisa dimanfaatkan untuk penanganan pasien positif covid-19.

Dimasa depan, Pandu Riono berharap investasi yang telah ditanam pemerintah untuk penanganan covid-19, bila memungkinkan bisa dimanfaatkan untuk mendukung pelayanan TBC.

“Pasien TBC harus berobat secara teratur hingga dinyatakan sembuh. Fasilitas kesehatan untuk penanganan covid-19, jika pandemi itu sudah hilang dari Indonesia, bisa dimanfaatkan untuk penanganan TBC,” katanya. (Tri Wahyuni)

Related posts