JAKARTA (Suara Karya): Pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) atau akrab disebut Revolusi Industri 4.0 tanpa disadari telah mengubah semua aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Untuk itu, siswa perlu dibekali 4 C agar tak gagap menghadap teknologi terkini.
“Anak tak usah diajarkan pintar dalam berhitung dan hapalan cepat. Serahkan saja urusan itu pada teknologi. Yang penting 4 C (creative, critical thinking, communication and Collaboration),” kata
Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom) Kemdikbud, Gogot Suharwoto dalam seminar “International Symposium on Open Distance and e-Learning” (ISODEL) di Jakarta, Kamis ( 5/7).
Lewar 4 C, lanjut Gogot, siswa jadi tak kehilangan arah serta terjebak dalam kemajuan teknologi. Padahal, kehidupan membutuhkan 4 C agar berhasil dalam dunia kerja dan pergaulan di masyarakat.
“Pentingnya 4 C bagi siswa bisa dilihat dari keberhasilan tokoh dunia seperti pemilik situs Alibaba dari China Jack Ma atau pemilik Microsoft, Bill Gates. Mereka tetap menampilkan sosok humanis, meski bisnisnya mengandalkan teknologi.
Gogot menambahkan, kurikulum 2013 sebenarnya telah mengadopsi konsep 4 C tersebut. Namun dalam praktiknya, para guru belum menerapkan kurikulum tersebut secara optimal.
Untuk itu, Gogot meminta pada para guru untuk ikut mendalami teknologi informasi. Hal itu akan memudahkan proses pembelajaran karena guru memiliki kemampuan yang sama dengan siswanya dalam teknologi informasi.
“Saat ini hampir semua kegiatan pendidikan bersentuhan dengan teknologi mulai dari penerimaan peserta didik baru lewat online, ujian nasional, download materi pembelajaran, mengerjakan soal bersama secara digital lewat aplikasi seperti whatsup atau line,” katanya.
Gogot menambahkan, upaya sektor pendidikan dalam menghadapi revolusi industri 4.0 akan dilakukan dalam 4 sisi yaitu guru, siswa, kurikulum dan fasilitas sekolah. Dengan demikian, ke-4 sisi itu bisa berkembang bersama.
“Ke-4 sisi ini harus mulai akrab dengan big data untuk penggunaan sehari-hari mulai dari komunikasi, belanja, melihat peta atau mencari informasi. Siswa diajarkan koding atau programming agar masuk dalam masyarakat digital. Tetapi tetap harus diawasi agar mereka tak “tersesat” didalamnya,” ujarnya.
Karena data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menunjukkan, ada sekitar 800 ribu dari 1 juta konten di dunia digital yang mengandung unsur negatif.
“Lebih banyak konten negatif dibanding konten positif. Guru maupun orangtua tetap diminta untuk ikut mengawasi keseharian mereka,” kata Gogot menegaskan. (Tri Wahyuni)