JAKARTA (Suara Karya): Wacana penarikan tata kelola guru dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat harus disikapi secara hati-hati. Karena kewenangan semacam itu telah dilakukan Kementerian Agama, namun tetap tak bebas dari masalah.
“Ada dua sistem tata kelola guru yang sudah berjalan, yaitu di Kemdikbud dan Kemenag. Saya lihat dua-duanya memiliki masalah,” kata pengamat pendidikan, Indra Charismiadji dalam diskusi media bertajuk “Melihat Peluang Tata Kelola Guru di Bawah Pemerintah Pusat” di Jakarta, Senin (28/5).
Acara digelar Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik) itu menampilkan pembicara lain anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Ferdiansyah dan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Usman Tonda.
Indra mencontohkan kebijakan penarikan kewenangan guru SMA ke provinsi. Karena ternyata penarikan itu bukan menimbulkan masalah bagi sebagian guru.
“Mereka mengantri minta pindah menjadi guru SMP. Rupanya setelah pemindahan status itu, guru yang tinggal di daerah tertentu kehilangan tunjangan dari pemerintah kabupaten/kota,” ujarnya.
Pernyataan berbeda disampaikan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Usman Tonda. Penarikan guru ke pusat harus dilakukan karena pemerintah daerah selama ini tak memberi perhatian serius atas urusan guru.
Ketidakseriusan itu, seperti dikemukakan Usman Toda terlihat pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Alokasi dana 20 persen untuk pendidikan, ternyata diambil dari dana alokasi umum (DAU) untuk guru.
“Belum lagi kalau sedang pemilihan kepala daerah (pilkada), guru “diseret” kesana kemari. Jika tidak memihak, guru dimusuhi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Usman, akibat lemahnya koordinasi membuat kebijakan pendidikan tidak sampai ke tingkat lokal. Ini berdampak tak hanya pada guru, tetapi kualitas pendidikan di daerah tersebut.
“Rencana penarikan kewenangan pengelolaan guru ke pusat ini sebenarnya sudah dilontarkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi baru jenjang sekolah menengah atas (SMA) yang berhasil. Tapi itupun baru ditarik ke provinsi,” ujarnya.
Hal senada dikemukakan Ferdiansyah. Kebijakan guru baru sekadar lip service. Padahal guru mengemban fungsi pertahanan, selain mengajar. “Di era digital saat ini guru memainkan peran sebagai pertahanan agar siswa tidak disusupi faham radikal,” ujarnya.
Ferdi menilai, penarikan kewenangan itu bisa dilakukan mulai dari guru berstatus aparatur sipil negara (ASN). Hal itu bisa dilakukan, karena mereka harus tunduk pada Undang-Undang (UU) ASN, yang dalam salah satu pasalnya disebutkan, mereka harus siap ditempatkan dimana saja di wilayah Indonesia.
“Kalau mau mulai penarikan bisa mulai dari guru ASN. Guru swasta menyusul,” ujarnya.
Disinggung soal dana yang dibutuhkan untuk penarikan itu, Ferdi mengatakan, hal itu bukan perkara sulit bagi pemerintah. Ia menganalogkan masalah itu seperti memindahkan uang dari saku kanan ke kiri, yaitu dari APBN ke APBD.
“Setiap tahun dana untuk membayar sekitar 3 juta guru dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebesar Rp76,8 triliun. Saya rasa tidak sulit, anggarannya kan sudah teralokasikan di APBN,” tuturnya.
Untuk peningkatan kualitas guru, Ferdiansyah berharap organisasi profesi guru bisa dilibatkan dalam proses verifikasi dan validasi data. Sehingga program pelatihan guru menjadi jelas, karena dibuat sesuai dengan kebutuhan.
“Organisasi profesi bisa dipergunakan untuk klarifikasi anggotanya. Tetapi mereka harus jujur. Seperti organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), mereka tidak memberi surat registrasi untuk dokter yang tidak layak praktik,” katanya.
(Tri Wahyuni)