JAKARTA (Suara Karya): Demi mendukung implementasi ‘core value’ Aparatur Sipil Negara (ASN), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) menggelar sosialisasi sistem pengendalian gratifikasi, Whistle Blowing System (WBS) dan penanganan benturan kepentingan.
“Sebagai ASN, kita harus berAKHLAK, yaitu Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif,” kata Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal (Dirjen) Diktiristek Nizam saat membuka acara sosialisasi tersebut di Jakarta, Senin (25/4/22).
Untuk itu, Nizam meminta perguruan tinggi untuk mampu meraih zona berintegritas, bebas korupsi, bersih, dan memiliki semangat dalam memberi pelayanan kepada setiap mahasiswa dan pemangku kepentingan.
“Sejak 2 tahun lalunl, kami sudah mencanangkan semboyan SIGAP MELAYANI yang merupakan akronim dari pelayanan dengan Senyum dan Semangat, Integritas, Gotong-royong, Amanah, dan Profesional,” ujarnya.
Ditambahkan, berbagai transformasi dilakukan untu mewujudkan semangat SIGAP Melayani, seperti sistem layanan berbasis daring, transparansi layanan yang dipantau pengusul, dan pembayaran secara cashless.
Sosialisasi menghadirkan 2 narasumber, yaitu Inspektur Jenderal (Irjen) Kemdikbudristek Chatarina Girsang dan Pemeriksa Gratifikasi dan Pelayanan Publik Utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Muhammad Indra Furqon.
Chatarina menjelaskan, WBS adalah mekanisme pengaduan atas dugaan tindak korupsi yang terjadi maupun akan terjadi. Tindakan itu melibatkan pegawai dan orang lain di organisasi tempat kerjanya, yang mana pelapor bukan bagian dari pelaku tindakan tersebut.
Merujuk pada data penilaian integritas KPK tahun 2021, Chatarina menyebut, hanya 38,3 persen pegawai di seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintahan daerah yang berani melaporkan tindakan korupsi yang mereka lihat dan dengar. Karena itu, penting untuk menanamkan budaya antikorupsi.
“Mereka tidak berani melapor karena pihak yang berpotensi mengetahui adanya tindakan bersifat koruptif berasal dari pihak internalnya sendiri, termasuk LSM. Karena, korupsi masuk dalam kejahatan yang terorganisir, sistematis, serta tidak dapat dilakukan sendiri, baik sebagai pemberi atau penerima gratifikasi,” tuturnya.
Soal sanksi, Itjen merekomendasikan pemberian hukuman disiplin, pengembalian kerugian negara, dan pelimpahan wewenang kepada aparat penegak hukum.
Chatarina mengungkapkan peran besar whistle blower dalam melindungi negara dari kerugian yang lebih parah dan pelanggaran hukum yang terjadi. “Jika menemukan indikasi pelanggaran di lingkup kerja, segera laporkan. Identitas pelapor akan dilindungi,” ujarnya.
Sedangkan Furqon memaparkan hasil survei partisipasi publik tahun 2019 yang dilakukan KPK. Disebutkan, hanya 13 persen responden dari segmen pemerintah yang melapor adanya praktik gratifikasi.
Padahal, lanjuy Furqon, tindakan gratifikasi ditemukan pada 91 persen instansi yang mengikuti survei. Furqon menilai rendahnya angka pelaporan gratifikasi karena kurangnya pemahaman, ataupun khawatir berdampak buruk bagi dirinya pribadi.
Menurut Furqon, seharusnya semua pejabat memiliki integritas. Setiap pejabat pemerintahan diharapkan bertindak sesuai norma, etika.dan perilaku yang baik. Selain harus mencerminkan citra positif pada penerima layanan.
“Jika tidak bisa menolak upaya yang diindikasikan gratifikasi, maka terima dulu, lalu laporkan sebelum 30 hari kerja di aplikasi mobile Gratifikasi OnLine (GOL KPK) untuk menjaga integritas kita,” ungkapnya.
Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Sesditjen) Tjitjik menyampaikan, orientasi pelayanan publik yang berkualitas dan profesional sebaiknya tak sekadar dijadikan jargon, tetapi perlu dimaknai dengan baik oleh setiap Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Perilaku yang bersih, jujur dan amanah merupakan harga mati yang harus dipenuhi bagi setiap insan, terutama ASN yang bertugas sebagai agen pendukung (supporting agents) program-program pemerintah,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Tjitjik, harus dipastikan setiap pegawai pemerintah bertugas dengan standar operasional yang jelas, sistem yang terstruktur dan terukur dengan baik, standar pelayanan prima, kinerja profesional, serta menghindari diri dari perilaku koruptif yang dapat merusak tujuan program pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance).
Menurut Tjiktjik, sosialisasi secara simultan dan berkesinambungan dapat menjadi wadah untuk menginternalisasi nilai-nilai, sehingga terbentuk pemahaman dan kesadaran kolektif untuk mewujudkan sebuah unit kerja yang terbebas dari perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Semua itu sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan demi tata kelola institusi yang lebih baik, pelayanan yang prima, dan profesional,” kata Tjitjik menandaskan. (Tri Wahyuni)