JAKARTA (Suara Karya): Keselarasan pendidikan vokasi yang semakin sesuai dengan kebutuhan industri telah memengaruhi kondisi kebekerjaan lulusan vokasi yang kian membaik dalam beberapa tahun terakhir ini.
Hal itu dikemukakan Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Badan Pusat Statistik (BPS), Ali Said dalam Bincang Santai dengan Media bertajuk ‘Kondisi Tenaga Kerja Lulusan Pendidikan Vokasi di Indonesia’ di Jakarta, Jumat (29/11/24).
Hadir dalam kesempatan itu, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen), Tatang Muttaqin beserta jajarannya.
Ali Said menyebut, pendidikan vokasi hingga kini masih menghadapi beberapa tantangan. Meski demikian, kondisi kebekerjaan lulusan vokasi, terutama perguruan tinggi vokasi (PTV) menunjukkan kondisi yang cukup baik.
“Kontribusi lulusan SMK dan PTV dalam pasar kerja cukup tinggi jika dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK),” tuturnya.
Bahkan, menurut Ali Said, untuk lulusan SMK, tren partisipasinya meningkat selama periode 2022 sampai 2024. Hal itu merujuk pada hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2024 terkait kebekerjaan lulusan pendidikan vokasi.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan vokasi, lanjut Ali, meski TPT SMK masih cukup tinggi, tetapi TPT lulusan PTV cukup rendah. Bahkan angkanya hampir sama dengan TPT lulusan perguruan tinggi umum.
“TPT lulusan PTV juga lebih rendah dari TPT secara umum yang sebesar 4,91 persen,” ucapnya.
Jika melihat distribusi pengangguran menurut pendidikan, Ali Said menyebut, persentase pengangguran lulusan SMK dan perguruan tinggi vokasi justru lebih rendah. Persentase penganggur lulusan SMK lebih rendah dibanding lulusan SMA.
Jika melihat lapangan usahanya, lulusan SMK paling banyak bekerja di sektor perdagangan dan industri. Namun, jika dilihat jenis pekerjaannya, lulusan SMK juga mengalami peningkatan baik untuk pekerja pekerjaan white collar maupun blue collar.
White collar mengacu pada para pekerja kantoran yang umumnya bekerja di lingkungan kantor, melakukan tugas-tugas administratif atau manajerial.
Sedangkan blue collar merupakan sebutan untuk pekerja yang berkaitan dengan tugas-tugas fisik, tetapi tidak membutuhkan kualifikasi khusus.
Peningkatan pada jenis pekerjaan white collar seperti tenaga profesional maupun teknisi pada lulusan SMK sudah mulai terjadi sejak 2022 lalu.
Peningkatan itu mengindikasikan, lulusan SMK juga kian diperhitungkan di industri, tidak hanya sebagai pekerja kasar melainkan sebagai tenaga profesional maupun teknisi dan sejenisnya.
Jenis pekerjaan white collar juga mendominasi lulusan PTV dengan lapangan usaha yang banyak bergerak di bidang kesehatan, perdagangan, dan pemerintahan di urutan tiga teratas.
Selain itu, baik lulusan SMK maupun lulusan PTV juga lebih banyak bekerja di sektor formal. Dengan demikian lulusan vokasi memiliki stabilitas pendapatan dan perlindungan sosial yang lebih terjamin. Termasuk berkontribusi terhadap negara melalui penerimaan pajak.
Masih berdasarkan hasil Sakernas pada Agustus 2024, masa tunggu lulusan vokasi, baik SMK maupun PTV juga relatif singkat. Secara umum, lulusan vokasi memiliki waktu tunggu antara 0-2 bulan.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Tatang Muttaqin mengatakan, pendidikan vokasi merupakan salah satu fokus utama dalam RPJMN IV 2020-2024.
“Kami memiliki sejumlah program untuk mendorong pembelajaran yang unggul dan relevan, mulai dari Dana Padanan, Dana Kompetitif, Teaching Factory (Tefa), SMK Pusat Keunggulan, dan sebagainya,” tutur Tatang.
Meski laporan BPS bersifat fluktuatif, untuk sejumlah hal seperti pengangguran lulusan vokasi, terlihat adanya penurunan secara konstan. “Penurunan ini saya lihat dampak dari program-program tersebut,” ujarnya.
Tatang juga menyoroti pelaksanaan Tefa yang mampu mendorong kebekerjaan lulusan vokasi. Dengan Tefa, siswa dapat belajar dalam kondisi yang menyerupai lingkungan industri, baik dalam prosedur maupun standar yang digunakan.
“Upaya itu telah mendorong para peserta didik untuk jauh lebih siap dalam menghadapi dunia kerja, utamanya dari sisi soft skills yang selama ini dinilai menjadi persoalan lulusan vokasi,” katanya.
Data Rapor Pendidikan pada indikator Kualitas Pembelajaran dalam Teaching Factory, setidaknya terdapat 11.514 SMK (84,50 persen) berada pada kategori Baik dan Sedang.
Menurut Tatang, pembelajaran Tefa yang berorientasi atau berbasis produk mendorong SMK bisa mengembangkan diri menjadi Badan Layanan Umum (BLU), termasuk melaksanakan usaha hilirisasi produk barang dan jasa secara terpadu antara SMK dan DUDI (Dunia Usaha Dunia Industri).
Salah satu contoh Tefa yang berhasil adalah SMK YPM 8 Sidoarjo. Sekolah itu melaksanakan Tefa dengan produk Computer Numerical Control (CNC) Milling Training Unit SYS-8 4025, yang dihasilkan para siswa bersama industri.
Setiap bulan, SMK YPM 8 Sidoarjo mampu memproduksi satu unit mesin CNC Milling Training Unit SYS-8 4025 dengan harga rata-rata Rp150 juta. Hasil penjualan kemudian dikelola sebagai kegiatan Tefa dan digunakan untuk membeli bahan dan peralatan lain guna menunjang kegiatan pembelajaran dan produksi produk kembali.
Mesin CNC ini sudah terjual di beberapa SMK, seperti SMK Islam Krembung dan SMK YPM 7 Tarik Sidoarjo. (Tri Wahyuni)