JAKARTA (Suara Karya): Setara Institute meminta pemerintah melakukan penyaringan (screening) terkait jejak radikalisme terhadap calon pegawai negeri sipil yang baru diterima. Hal ini perlu dilakukan mengingat ada sejumlah kasus dugaan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terpapar radikalisme.
Demikian dikemukakan Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/1/2019).
“Setidaknya ada sekitar 128 ribu pegawai baru dan saya kira perlu ada checking dan recheck background pegawai rekrutmen dan diadakan sebuah screening,” kata Bonar.
Menurut dia, tandatangan pernyataan bahwa mengakui NKRI belum bisa memastikan apakah seseorang terpapar radikalisme atau tidak. Pemerintah, katanya, perlu melakukan tindakan preventif dalam sistem rekrutmen.
Menurut data Setara, sedikitnya ada lima PNS yang diduga terpapar radikalisme, yakni atas nama Wiqoyah dari Kementerian Agama RI Kantor Wilayah Jawa Timur dan Eka Puput Warsa yang merupakan ASN Politeknik Negeri Banyuwangi.
Kemudian, Suteki yang merupakan Guru Besar Universitas Diponegoro, Pegawai BUMN di Riau berinisial D, dan terakhir Triyono Utomo Abdul Bakti yang merupakan ASN Kementerian Keuangan.
“Mereka ini ASN yang memiliki kode etik dan bertanggungjawab secara moral. Namun sampai sekarang belum ada aturan yang jelas terkait preventif dan radikalisme ini,” ujar Bonar.
Dia mengatakan hal itu, setelah pihaknya melakukan penelitian kualitatif terhadap aturan pemerintah terkait lembaga pengawasan di tubuh ASN. Dari studi kebijakan itu, Setara hanya mendapat beberapa aturan yang terkait pengawasan ASN. Selain itu, tidak ada klausul yang mengamanatkan lembaga pengawas ASN untuk mengawas sisi radikalisme.
“Studi yang kami lakukan, menyebutkan bahwa peraturan lebih banyak menetapkan dua hal. Yakni, kinerja kepegawaian dan keuangan saja,” ujarnya menambahkan.
Karena itu, dia mengatakan, sudah selayaknya ada peraturan pemerintah yang mengintervensi terkait pengawasan radikalisme. Perlu juga dimasukkan sejumlah paramater agar kadar terpapar radikalisme bisa ditemukan sejak dini.
“Pengamat studi radikalisme sepakat bahwa ada tiga kategori terpapar radikalisme; pertama, konservatif bentuknya pasif, kedua adalah radikalisme tanpa kekerasan cenderung diskriminatif,” jelas dia.
“Dan ketiga, ada ekstrimis dengan kekerasan, merekalah yang terlibat terorisme,” katanya.
Pemerintah, kata Bonar, tidak perlu merevisi undang-undang mengenai tugas pokok dan fungsi masing-masing pengawas untuk mengawasi radikalisme. Dia hanya mengusulkan agar pemerintah memasukkan kalusul di peraturan pemerintah sebagai bentuk teknis preventif.
“Kode etik dan Undang Undang ASN itu sudah ada, tidak ada perlu perubahan. Hanya dibutuhkan sebuah peraturan pemerintah baru untuk penekanan mengenai hal ini,” ujar Bonar.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan hasil survei lembaga Alvara Strategi Indonesia yang terbit pada Oktober 2017, menyatakan bahwa 19,4 persen PNS menyatakan tidak setuju dengan Pancasila, dan lebih percaya dengan ideologi khilafah. (Mistqola)