Suara Karya

Article 33: Revisi UU Sisdiknas Harus Sentuh Akar Masalah, Jangan Sekadar ‘Kosmetik’!

JAKARTA (Suara Karya): Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) seharusnya menjadi momentum emas untuk memastikan pendidikan di Indonesia benar-benar inklusif, aman, dan berkualitas.

“Pembaruan regulasi ini tak boleh hanya ‘kosmetik’, tetapi harus menyentuh akar masalah dan menjawab tantangan masa depan,” kata Direktur Divisi Pendidikan dan Pembangunan Regional Article 33 Indonesia, Santoso kepada media, di Jakarta, Selasa (12/7/25).

Sebagai perwakilan lembaga masyarakat, lanjut Santoso, Article 33 Indonesia perlu memberi masukan terkait revisi UU Sisdiknas, yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

“Dari serangkaian diskusi yang melibatkan pemerintah, DPR RI, lembaga riset, organisasi masyarakat sipil, dan pemerhati pendidikan, kami menyoroti tiga isu krusial terkait revisi UU Sisdiknas, yaitu wajib belajar, tata kelola satuan pendidikan, dan lingkungan belajar yang aman serta toleran,” katanya.

Soal Wajib Belajar, Santoso menjelaskan, pentingnya perluasan akses dan penjelasan tentang hak-kewajiban. Mengingat masih banyak anak usia sekolah yang tidak sekolah (Anak Tidak Sekolah/ATS).

“Salah satu masukan penting dalam revisi UU Sisdiknas terkait Wajib Belajar adalah komitmen pemerintah secara serius untuk menuntaskan atau mengembalikan anak ke sekolah,” tuturnya.

Article 33 juga mengusulkan adanya penegasan definisi wajib belajar, cakupan jenjang pendidikan, pembiayaan yang memadai, dan fleksibilitas perpindahan jalur pendidikan.

“Ada 4 opsi cakupan yang kami ajukan, mulai dari mempertahankan 9 tahun hingga perluasan menjadi 13 tahun,” katanya.

Santoso juga menekankan pernyataan ‘Bukan masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan pengelolaan negara, tetapi negara yang harus menyesuaikan diri dengan karakteristik warganya’.

Ia mencontohkan, bagaimana caranya anak nelayan bisa tetap bersekolah, meski membantu orang tuanya ke laut. Begitu pun anak-anak dengan penyakit kronis. Mereka tetap berhak mendapat pendidikan yang layak.

Soal tata kelola, Santoso menyebut, Article 33 mendesak agar revisi UU Sisdiknas mengakui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai jenjang tersendiri sebelum pendidikan dasar.

“Tidak adanya jenjang tersendiri untuk PAUD akan merugikan para pihak yang terlibat di dalamnya. Misalkan, pengajar PAUD tidak disebut guru. Alokasi anggaran juga tidak mendapat porsi yang memadai. Kebanyakan PAUD didirikan oleh masyarakat,” tuturnya.

Ditambahkan, revisi UU Sisdiknas diharapkan dapat memperjelas kategorisasi satuan pendidikan
formal, nonformal, dan informal. Hal itu termasuk penguatan pendidikan nonformal untuk ATS, pengakuan terhadap pesantren, serta pengembangan pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas.

“Kategorisasi satuan pendidikan itu penting, guna memastikan setiap anak memiliki hak yang sama untuk mengakses layanan pendidikan,” katanya.

Terkait Lingkungan Belajar yang Aman, Inklusif, dan Toleran, Santoso menjelaskan, perlunya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan untuk memastikan terwujudnya sekolah yang aman.

“Perlunya pengaturan
pendidikan inklusif berbasis hak, serta integrasi nilai toleransi secara eksplisit ke dalam kurikulum,” katanya.

Sebagai langkah nyata, Article 33 tengah menyiapkan rancangan UU versi masyarakat sipil yang akan diajukan ke DPR. “Ini undangan terbuka. Kita harus merumuskan bersama UU yang mencerminkan aspirasi rakyat,” ajak Santoso.

Article 33 Indonesia memberi masukan terhadap Revisi UU Sisdiknas untuk wujudkan
pendidikan yang inklusif, aman, dan berkualitas.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Badan Keahlian DPR RI, Arrista Trimaya mengatakan, masukan Article 33 sangat penting sebagai bagian dari ‘meaningful participation- yang dibutuhkan Komisi X DPR.

Sementara Tenaga Ahli Komisi X, Rio Mayrolla menyoroti perlunya revisi alokasi anggaran pendidikan agar tak terlalu tersedot ke sekolah kedinasan. (Tri Wahyuni)

Related posts