JAKARTA (Suara Karya): Aruna bekerja sama dengan Badan Pangan Nasional (BPN) menggaungkan kampanye dengan hashtag #RevolusiProtein. Hal itu untuk membantu pemerintah dalam menekan angka stunting, terutama di wilayah pesisir Indonesia.
Co-Founder dan CSO Aruna, Utari Octavianty menjelaskan, kampanye menggunakan pendekatan partisipatif, edukatif, berkearifan, dan berkelanjutan dalam memberi edukasi tentang gizi kepada orangtua.
“Melalui kampanye #RevolusiProtein, kami ingin ikut memperbaiki pola makan anak-anak di wilayah pesisir,” kata Utari usai melakukan shoot video podcast bertema ‘Pangan Sumber Protein Hewani untuk Pemenuhan Gizi Anak Sekolah’, di Jakarta, Jumat (15/12/23).
Utari menjelaskan, pihaknya memiliki kegiatan bernama Sarasehan (Silaturahmi Nelayan Aruna) yang diikuti warga pesisir. Materi seputar pentingnya pangan dan gizi bagi pertumbuhan dan kecerdasan anak.
“Sarasehan merupakan program engagement yang kami buat untuk menjalin kedekatan dengan masyarakat pesisir, sekaligus menjadi wadah informasi edukatif bagi Komunitas Nelayan Aruna,” katanya.
Lewat kegiatan itu, Utari mengedukasi para istri nelayan untuk mengambil sebagian kecil dari hasil tangkapan suami untuk diolah menjadi hidangan bergizi bagi anak-anak mereka.
“Orangtua harus diedukasi agar memberi protein hewani yang cukup kepada anak-anaknya. Karena protein hewani memiliki komposisi asam amino esensial yang lebih lengkap dibanding protein nabati,” ujarnya.
Protein hewani juga kaya mikronutrien, seperti vitamin B12, vitamin D, DHA, zat besi, dan zink, yang banyak terkandung dalam telur, susu, dan olahan protein lainnya, seperti ikan dan daging.
Hal senada dikemukakan narasumber lainnya, yaitu Febrina Cholida dari Direktorat Kewaspadaan Pangan dan Gizi, Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi, BPN.
Febrina berbagi insight tentang pentingnya gizi bagi anak, tantangan kerentanan pangan di Indonesia, serta kegiatan yang bisa dilakukan untuk pemenuhan gizi bagi anak.
“BPN dan Aruna memiliki visi yang sama untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat maritim dunia pada 2045. Bahkan kami memiliki visi untuk mewujudkan generasi emas pada 2045,” ujar Sebrina.
Alasannya, anak muda yang saat ini dalam usia produktif nantinya akan menjadi penggerak pembangunan negara. “Ironinya, meski hasil laut berlimpah, banyak anak di kampung pesisir yang menderita kekurangan gizi atau stunting,” ucapnya.
Karena itu, lanjut Febrina, salah satu kelompok sasaran yang perlu kita perhatian untuk penanganan rawan pangan dan gizi adalah anak usia sekolah, terutama di daerah pesisir.
Ditambahkan, intervensi gizi di 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) telah dilakukan secara optimal oleh pemerintah dan berbagai pihak. Tak hanya itu, masyarakat juga perlu melakukan investasi kesehatan gizi pada anak sepanjang 7.000 hari kedepan. Hingga anak berusia 21 tahun.
“Investasi di 1.000 HPK kritikal telah didukung oleh banyak negara. Tetapi, investasi kesehatan dan gizi selama 7.000 hari ke depan juga penting untuk mempertahankan hasil investasi di 1.000 HPK,” katanya.
Upaya itu, menurut Febrina memberi kesempatan untuk mengejar ketinggalan, dan mengatasi fase-fase kerentanan, khususnya di masa pubertas, percepatan pertumbuhan, dan perkembangan otak pada masa remaja.
“Itulah alasan kenapa kampanye dengan hashtag #RevolusiProtein ini penting. Intervensi ini lebih hemat biaya dan menghasilkan pengembalian investasi yang tinggi di bidang pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan ekonomi lokal.
Mengutip data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang menyebutkan, ada sekitar 26.1 persen anak usia sekolah tidak sarapan. Kondisi itu berpengaruh terhadap konsentrasi dan kecerdasan otak anak.
Merujuk pada angka Prevalence of Undernourishment (PoU) tahun 2022, sebanyak 28,1 juta jiwa (10,21 persen) penduduk Indonesia mengkonsumsi energi yang kurang dari standar minimum untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
Berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) tahun 2022, masih terdapat 74 kabupaten dan kota yang rentan rawan pangan. (Tri Wahyuni)