Suara Karya

Fahri Hamzah: Kasihan Rakyat, Isu THR Dijadikan Manuver Politik Jokowi

JAKARTA (Suara Karya): Perubahan alokasi anggaran oleh eksekutif di level apa pun, tidak bisa dilakukan secara sepihak, melainkan harus disepakati bersama DPR. Perubahan alokasi anggaran di tingkat pusat itu, tidak mengikat APBD, yang memiliki mekanisme tersendiri yang independen dari pemerintah pusat.

Demikian disampaikan Wakil Ketua DPR Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Fahri Hamzah, kepada wartawan, di Gedung DPR, Kamis (7/6). Dia mengatakan hal itu, menyikapi penerbitan PP soal menetapkan pemberian THR dan gaji ke-13 untuk pensiunan, PNS, TNI, dan Polri, yang dikeluhkan sejumlah Kabupaten dan Kota.

Pasalnya, untuk pembayaran THR dan gaji ke-13 Kabupaten dan Kota dapat menyelaraskan waktu pembayaran yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan dalam hal ini akan ditanggung oleh APBD setempat.

Melanjutkan pernyataanya, Fahri menyatakan bahwa apabila pemerintah pusat ingin membuat keputusan atau kebijakan yang mengikat lembaga lain, tidak bisa serta merta, tetapi harus melalui mekanisme.

“Itulah sebabnya, harusnya THR itu jangan jadi isu politik, tetapi harusnya jadi isu kesejahteraan rakyat yang secara reguler ditetapkan melalui UU dan APBN serta APBD,” cetusnya.

Sebab kalau kemudian jadi isu politik, sebut Fahri, ini lah jadinya seperti sekarang, berantakan semuanya karena daerah tidak bisa serta merta mengeluarkan anggarannya sebagaimana yang diminta pemerintah pusat.

“Mengapa? Karena tidak semua daerah mempunyai kapasitas viskal yang memadai untuk membiayai pencitraan yang dibuat pemerintah itu,” tambah politisi dari PKS itu lagi.

Diingatkan Fahri, mekanisme alokasi dana dalam negara itu paling rumit, karena itu itu harus dipertanggungjawabkan rupiah per rupiah, jadi tidak boleh sembarangan, memang harus dasarnya UU. Makanya, kalau bisa itu diregulasi dengan baik supaya jadi tradisi, dan bukan menjadi manuver politik.

“Tapi yang ini, kelihatan betul motifnya dari awal konsepnya nggak jelas. Mau bagi, ternyata uangnya nggak ada. Akhirnya narik diri, suruh daerah, sementara daerah nggak punya uang. yang begini ini, jadinya bikin rusak dan membuat kesal karena akhirnya tidak merata. Kalau THR jadi manuver politik kasihan rakyat, sudah dijanjiin tenyata nggak dapet,” ujarnya.

Padahal, masih menurut Fahri, kalau bisa itu diregulasi dengan baik, bisa menjadi tradisi rutin pemerintah dalam mendorong sektor usaha agar ada insentif bagi para pekerja dan birokrat. Yang perlu diberi THR itu, adalah orang yang permanen kerjanya seperti buruh, birokrat, PNS-PNS, termasuk pekerja jurnalistik, itu yang rutin-rutin kerjanya dari hari ke hari.

“Kalau politisinya, nggak usah diberi THR. Begitu juga dengan pimpinan daerah seperti gubenur, wakil gubernur, bupati, walikota, anggota DPRD, DPR RI, pejabat setingkat menteri, presiden dan wapres, itu nggak perlu THR. Karena, kita ini nggak permanen,” sebut anggota DPR dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

Diketahui sebelumnya. Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pemerintah mengenai tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 untuk PNS, TNI, Polri, dan pensiunan. Dan ada yang istimewa tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya, yakni THR tahun ini akan diberikan pula kepada pensiunan.

Pemerintah Jokowi berharap, pemberian THR dan gaji ke-13 tahun ini bukan hanya bermanfaat bagi kesejahteraan PNS, TNI, dan Polri, terutama saat menyambut Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriah, namun juga bagi peningkatan kinerja.

“Kita juga berharap ada peningkatan kinerja ASN (aparatur sipil negara) dan kualitas pelayanan publik secara keseluruhan,” ujar Jokowi. (Gan)

Related posts