JAKARTA (Suara Karya): Perusahaan jasa keuangan internasional, Price Waterhouse and Coopers mempredisikan bahwa perekonomian Indonesia pada tahun 2050, akan mencapai rangking nomor 3 terbesar didunia.
Sedangkan Standard Chartered Bank, memprediksi GDP Indonesia akan menempati rangking 5 di dunia pada tahun 2030. Hal ini berbanding terbalik dengan prediksi Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa Indonesia akan bangkrut di tahun 2030.
“Kita optimis prediksi Price Waterhouse and Coopers dan Standard Chartered Bank ini akan bisa tercapai. Prediksi dari ke dua lembaga keuangan international ini, tentu didasarkan atas data dan kajian yang kredibel. Harus juga diakui bahwa secara statistik, setiap prediksi terdapat peluang untuk meleset (error), baik karena sampling error maupun non-sampling error,” ujar Ketua Kaukus Nuklir Parlemen, Kurtubi, dalam keterangan persnya, Sabtu (12/1/2019).
Namun yang pasti, kata dia, prediksi bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan tingkat ekonomi (GDP) terhormat di dunia, hanya bisa tercapai apabila infrastruktur terus dibangun dan diperkuat.
“Sebab Ekonomi tidak bisa tumbuh stabil dan tinggi kalau infrastruktur tidak memadai. Contoh infrastruktur yang sedang dibangun, seperti transportasi jalan negara, jalan tol, jembatan, rel kereta, LRT, MRT, pelabuhan, bandara dan lain-lain, Infrastruktur pertanian : DAM, bendungan, embung, irigasi dan lain-lain,” katanya.
Termasuk pembangunan infrastruktur kelistrikan, seperti pembangkit, jaringan transmisi distribusi. “Kita semua tahu bahwa pembangunan infrastruktur yang disertai dengan kontrol massif ke lapangan menjadi program utama pemerintah saat ini. Sebagian pembangunan infrastruktur sudah selesai tapi sebagian masih belum selesai, disamping perlu penyempurnaan dan penambahan pembangunan infrastruktur,” ujar Kurtubi menambahkan.
Nasmun demikian, dia mengatakan, ada sejumlah infrastruktur lain yang perlu penambahan, seperti pembangunan PLTN untuk memperkuat dukungan industrialisasi di tanah air.
Selain itu, dia mengatakan, ke depan Indonesi perlu rencana yang lebih terintegrasi. Misalnya pembangunan Smelter yang saat ini sedang berjalan, perlu diintegrasikan dengan program hilirisasi, termasuk industri hilir yang memanfaatkan ‘output’ dari smelter serta kebutuhan listriknya.
“Ini perlu ada koordinasi lintas kementrian bersama Bappenas, Perindustrian, ESDM di bawah koordinasi menko, karena pembangunan industri berbasis tambang bukan melulu urusan (tupoksi) sektor ESDM,” katanya.
Untuk tercapainya tujuan menjadi negara industri maju, kata dia, jauh lebih efisien melanjutkan rencana pembangunan yang sedang dilaksanakan, ketimbang memulai semua dari awal.
“Sehingga akan lebih rasional untuk memberikan kesempatan kepada pemerintahan saat ini untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan untuk menuju Indonesia menjadi sebuah negara industri maju,” ujar alumnus Colorado School of Mines, Institut Francaise du Petrole dan Universitas Indonesia ini. (Mistqola)