Suara Karya

Wishbone Day 2025: Anak juga Bisa Terkena Osteoporosis, Kenali Gejalanya!

JAKARTA (Suara Karya): Keropos tulang (osteoporosis) tak hanya dialami lanjut usia (lansia), tetapi juga bisa pada anak. Salah satunya, osteogenesis imperfecta (OI), kelainan genetik yang membuat tulang anak sangat rapuh.

“Anak dengan OI bisa mengalami patah tulang, bahkan saat proses persalinan. Saat lahir, mereka bisa terus menangis karena kesakitan,” kata Ketua Yayasan Kesehatan Anak Global (YKAG), Prof Dr dr Aman Pulungan, SpA, Subsp.End dalam webinar ‘Wishbone Day 2025’, akhir pekan lalu.

Meski demikian, lanjut Prof Aman,
anak dengan OI bisa tumbuh secara sehat, belajar, dan menjadi anak hebat melalui deteksi dini dan penanganan yang tepat.

“Kita hanya perlu memberi ruang dan dukungan kepada mereka,” ujarnya.

Wishbone Day 2025 yang digelar bersama YKAG dan Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia itu bertujuan mendorong kesadaran publik serta membuka ruang advokasi kebijakan yang lebih inklusif.

Acara bertajuk ‘Apakah Anak Bisa Terkena Osteoporosis?’ juga dihadiri Forum Osteogenesis Imperfecta (FOSTEO), komunitas anak-anak dan keluarga dengan OI.

Prof Aman berharap, kegiatan Wishbone Day 2025 menjadi langkah penting dalam menjembatani informasi medis, dan mengumpulkan dukungan lintas sektor agar OI bisa dikenali, tercatat, dan ditangani dalam sistem kesehatan nasional.

Pada 2023, UKK Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat, ada 170 kasus anak dengan OI di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Jumlah kasus di lapangan kemungkinan lebih tinggi, karena selama ini OI belum masuk dalam sistem registri nasional dan pelaporan rutin fasilitas kesehatan.

“Padahal, tanpa deteksi dan terapi dini, dampaknya besar terhadap tumbuh kembang dan kualitas hidup anak,” kata Prof Aman menegaskan.

Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga, Lovely Daisy mewakili Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyambut baik kegiatan Wishbone Day 2025. Sehingga makin banyak orang yang peduli terhadap OI.

“Kami berharap anak dengan kerapuhan tulang sejak lahir seperti Osteogenesis Imperfekta, dapat terdeteksi lebih dini. Sehingga intervensi bisa dilakukan lebih cepat dan efektif, agar anak bisa tumbuh kembang secara optimal,” tuturnya.

Saat ini pemerintah tengah menjalankan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) sebagai bagian dari upaya deteksi dini berbagai kondisi kesehatan sejak awal kehidupan.

“Momen ini bisa digunakan untuk deteksi dini OI agar penderita dapat penanganan yang tepat,” ujarnya.

Sementara itu, Dr dr Agustini Utari, MSi Med, SpA, SubSpEnd dari Ikatan Dokter Anak Indonesia menjelaskan, diagnosis dan penanganan OI sudah bisa dilakukan dokter anak di seluruh Indonesia.

“Evaluasi klinis bisa membantu penegakan diagnosis dan pemilihan tatalaksana yang komprehensif. Dengan tata laksana yang tepat, anak dengan OI tetap bisa memiliki kualitas hidup yang lebih baik,” ujarnya.

Dalam sesi edukatif, dr Ghaisani Fadiana, SpA, SubspEnd menyampaikan materi berjudul ‘Memahami Osteogenesis Imperfekta: Panduan untuk Orang Tua dan Keluarga’.

Ia menekankan pentingnya peran keluarga dan tenaga kesehatan dalam mendampingi tumbuh kembang anak dengan OI. “Tulang yang rapuh bukan berarti harapan juga rapuh. Dengan terapi dan dukungan lingkungan yang tepat, mereka bisa tumbuh dengan percaya diri,” katanya.

Salah satu orang tua anak dengan OI, Reny Novita dalam kesempatan yang sama berbagi harapan. Ia tak ingin anak dengan OI dikenal lewat kelainan tulangnya, tetapi dikenal karena mimpi dan semangatnya.

“Semoga Indonesia menjadi tempat yang menerima dan mendukung anak-anak dengan OI, sejak lahir hingga dewasa,” kata Reny menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts