JAKARTA (Suara Karya): Pendanaan filantropi Islam seperti zakat, infak dan sedekah (ZIS) menjadi bahasan menarik dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar GreenFaith Indonesia bersama Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, di Jakarta, Rabu (23/4/25).
Diskusi bertajuk ‘Tinjauan Syariah terhadap Tasharruf Zakat, Infak dan Sedekah pada Isu Energi’ itu diikuti perwakilan dari berbagai ormas keagamaan, lembaga pengelola zakat, institusi pemerintah, hingga lembaga riset energi.
Dalam diskuai dibahas pemanfaatan dana ZIS dalam isu strategis perubahan iklim dan transisi energi, yang selama ini belum banyak disentuh dari sudut pandang syariah.
Hasil akhir dari diskusi, diharapkan dapat memperkuat peran dana ZIS untuk mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Seperti dikemukakan Direktur GreenFaith Indonesia, Hening Parlan, FGD kali ini merupakan bagian dari ikhtiar masyarakat sipil untuk membawa nilai-nilai agama ke dalam solusi-solusi konkret atas krisis iklim.
“Transisi energi tak semata isu teknis, tetapi juga menyangkut nilai. Energi yang bersih seperti matahari dan angin, dalam pandangan kami, adalah energi surga. Komunitas beragama memiliki kekuatan spiritual dan sosial untuk mendorong peralihan ini secara kolektif,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua MOSAIC, Nur Hasan Murtiaji. Ia menilai pentingnya merumuskan panduan tasharruf ZIS yang kontekstual dan aplikatif. Apalagi jika melohat otensi zakat nasional yang mencapai Rp327 triliun.
“Bagaimana dana sebesar itu bisa digunakan untuk mendukung energi bersih perlu dirumuskan secara syar’i dan legal. Interaksi yang terbangun melalui FGD ini diharapkan fapat menjawab pertanyaan itu secara kolaboratif,” ungkapnya.
Dalam pengantarnya, Ustadz Niki Alma dari Majelis Tarjih menegaskan, penggunaan dana ZIS untuk keperluan di luar kebutuhan fakir miskin masih menjadi perdebatan.
“Selama ini, banyak yang berpandangan dana ZIS hanya bisa untuk fakir miskin. Namun, transisi energi yang berdampak pada hifzhul bi’ah (perlindungan lingkungan) sebagai bagian dari maqashid syariah sangat layak dipertimbangkan,” ungkapnya.
Pernyataan serupa disampaikan Ustadz Qaem Aulassyahied yang ikut menyusun panduan tasharruf ZIS. Ia menegaskan perlunya konsensus bersama lintas lembaga.
“FGD ini bisa menjadi forum penting untuk menyempurnakan panduan pengelolaan ZIS dalam mendukung agenda energi berkeadilan,” ujar Qaim.
Diskusi juga melibatkan masukan dari Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI Pusat, yang diwakili Ustaz Faisal Farouq.
Ia menyarankan agar panduan ini dapat diusulkan ke Komisi Fatwa MUI guna memperluas spektrum penggunaannya. “Bila ditambah aspek wakaf, yang bisa dikelola jangka panjang dan tidak terbatas hanya untuk umat Islam, maka potensi dampaknya akan jauh lebih besar,” kata Faisal.
Dari Dewan Tafkir Persatuan Islam (Persis), Ustaz Rahmat menekankan kekuatan wakaf sebagai instrumen pendanaan berkelanjutan. “Kami telah melakukan kajian ekoteologi yang berbasis kearifan lokal. Potensi wakaf tunai sangat besar, bahkan dalam satu kegiatan bisa terkumpul Rp11 miliar,” ungkapnya.
Menurut Ustaz Rahmat, hal itu menunjukkan animo publik sangat kuat jika disalurkan untuk program yang memberi manfaat nyata.
FGD juga dihadiri perwakilan dari LazisMU, BAZNAS, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Islamic Relief, Human Initiative, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institute for Essential Services Reform (IESR), Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, serta Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan.
Berbagai lembaga yang hadir berbagi pengalaman dan ilmu, karena masing-masing organisasi telah memiliki program yang beririsan dengan isu lingkungan, meski dalam porsi yang masih kecil.
Dicontohkan, LazisMU yang mencatat hanya menyalurkan 11 persen dari total penyaluran dana program untuk lingkungan pada 2022.
Menanggapi pendanaan transisi energi melalui filantropi Islam, Dedy Ibmar, akademisi dari Universitas Islam Negeri menyampaikan, transisi energi masih menjadi isu yang paling minim diperhatikan dari sekian banyak isu lingkungan, seperti isu sampah.
“Upaya ini karena butuh biaya yang lebih besar untuk mewujudkan transisi energi dibanding isu lingkungan yang lain. Sehingga Inisiatif transisi energi menjadi yang paling cocok sebagai tujuan pengumpulan pendanaan dana ZIS,” pungkasnya.
Dari FGD, diharapkan lahir dokumen bersama dan langkah konkret yang menghubungkan nilai-nilai Islam dengan agenda transisi energi nasional.
Kolaborasi lintas sektor diyakini akan membangun ekosistem pemikiran dan aksi yang kuat dalam mewujudkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. (Tri Wahyuni)