JAKARTA (Suara Karya): Reformasi lebih dimaknai sebagai kebebasan tanpa tanggung jawab serta tanpa kepastian hukum. Kondisi demikian, menyebabkan intoleransi dan radikalisme berkembang pesat dan korupsi bertumbuh subur.
“Namun tak bisa dipungkiri, kini Indonesia sudah dianggap menjadi negara demokratis. Dunia bahkan menganggapnya sebagai sebuah prestasi. Sebab, Indonesia berhasil mendobrak oligarki politik di masa orde baru,” ujar politisi muda Partai Golkar, Tubagus Ace Hasan Syadzily, di Jakarta, Senin (21/5).
Dia mengatakan hal itu, menyikapi 20 tahun reformasi, yang perjalanannya masih dianggap ada ‘trial’ dan ‘error’.
“Usia reformasi baru 20 tahun. Wajar bila masih ada trial dan error dan memang tak bisa mengharapkan hasil yang instan. Setidaknya, di 20 tahun ini Indonesia sudah ke arah lebih baik karena sudah banyak pembenahan,” kata mantan Ketua Senat Mahasiswa UIN Jakarta itu.
Sebagai salah seorang yang terlibat dalam aksi-aksi 1998, menurut Ace, salah satu yang diperjuangkan saat itu adalah soal bagaimana membangun demokratisasi di Indonesia setelah mengalami otoritarianisme orde baru.
Menurut dia, partai politik semata tak bisa disalahkan bila banyak yang menganggap jurang antara cita-cita reformasi 1998 dan kenyataan kian lebar.
“Reformasi adalah pemicu proses perbaikan yang tentu memerlukan waktu untuk 100 persen terwujud,” katanya menambahkan.
Walau demikian, banyak yang menganggap parpol membajak agenda pembaruan itu. Parpol lewat wakilnya di parlemen dinilai lebih asyik memperjuangkan kepentingan kelompok. Banyak undang-undang yang bermasalah.
Ace mengatakan, keadaan itu tak sepenuhnya menjadi tanggung jawab elemen parpol. Memang diakui, parpol merupakan pilar utama demokrasi, tetapi eksistensi parpol ada karena masyarakat.
“Seandainya parpol dan anggota parlemen yang ada dianggap tak memenuhi ekspektasi publik, harusnya dikembalikan ke publik sendiri, kenapa tetap memilih yang buruk?” katanya. (Gan)