Suara Karya

Kemenristekdikti Diminta Monitoring Paham Radikalisme di Kampus

JAKARTA (Suara Karya): Anggota Komisi X DPR Dadang Rusdiana tak memungkiri, pemikiran atau paham radikalisme ada di setiap kampus dan lingkungan masyarakat. Bahkan, di lingkungan keluarga, pemikiran radikalisme itu pasti ada.

Namun yang lebih penting, kata dia, bagaimana agar intensitas pemikiran radikalisme itu tidak menjadi tinggi. Karenanya, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) diminta melakukan monitoring dan evaluasi terhadap paham radikalisme di lingkungan kampus.

“Evaluasi dan monitoring oleh Kemenristekdikti ini dalam konteks menjaga bangsa dan negara ini dari situasi kekacauan terorisme. Saya kira wajar, dimanapun pasti ada orang-orang yang berpikir radikal. Tapi kemudian tentu ini tidak boleh dibiarkan menjadi benih-benih pembangkangan terhadap negara,” ujar Dadang, di sela-sela pertemuan Pimpinan DPR dan BAKN dengan BPK, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/6).

Politisi Partai Hanura itu menambahkan, paham radikalisme itu tumbuh ketika keinginan dan cita-cita politiknya tidak tersampaikan dengan baik, maka oknum-oknum itu akan mencari jalan yang keras, mengintimidasi, bahkan melakukan teror.

Menurut dia, ketika seseorang yang tidak menghormati merah putih dan tidak mengakui Pancasila, itu sudah jelas melakukan pembangkangan dan mulai muncul benih-benih radikalisme.

“Jika paham radikalisme itu sudah masuk dunia kampus atau kecendekiawanan, itu sangat berbahaya. Karena orang-orang kampus dan cendekiawan itu adalah matahari masyarakat, yang artinya menjadi rujukan bagi masyarakat, dan memberikan pengaruh bagi masyarakat. Ini berbahaya jika dibiarkan. Mahasiswa harus lebih bertanggungjawab, karena mereka termasuk masyarakat terdidik,” ujar Dadang.

Namun dia yakin, kampus memiliki sistem untuk meminimalisir paham dan aliran radikalisme di lingkungan kampus.

Menurutnya, untuk menghadapi kaum intelektual dan cendekiawan dapat dilakukan dengan pendekatan akademis, elegan dan konstruktif.

Wakil rektor bidang kemahasiswaan, dosen atau organisasi intra kampus bisa berperan dalam melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat kampus, melalui diskusi yang sehat.

“Dunia kampus, intelektual, dan cendekiawan itu yang dikembangkan adalah diskursus yang konstruktif dan sehat. Saya kira kita punya akal sehat bersama, atau sebuah common sense bahwa yang namanya radikalisme itu kesesatan dan penyimpangan dari nalar yang sehat. Paham radikalisme itu sebetulnya hidup, tapi tidak akan tumbuh subur, ketika dihadapkan pada cara berpikir yang baik,” katanya.

Di sisi lain, terkait data BNPT yang mengungkap tujuh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang terpapar terorisme, Dadang menilai, lembaga tersebut tidak terlalu membuka data itu.

Menurutnya, hal itu cukup menjadi bagian dari strategi BNPT dalam mengawasi pergerakan paham radikalisme di lingkungan kampus. Hal itu jangan sampai menimbulkan keresahan dan stigma negatif dari masyarakat kepada kampus.

“Artinya monitoring dilakukan, tapi jangan terlalu reaktif. Aktivitas kampus juga biasa saja, tidak perlu terlalu dimata-matai. Kita tidak mungkin menghilangkan secara total orang-orang yang berpikir radikal, tapi kita harus tetap meminimalisir, dan mengunci, agar tidak menjadi aksi. Karena yang paling berbahaya dari pemikiran radikalisme adalah ketika sudah menjadi aksi,” katanya. (Gan)

Related posts