
JAKARTA (Suara Karya): Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia (AII), Prof Didiek Hadjar Goenadi menilai gonjang ganjing di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dampak dari kebutaan ilmiah. Selain juga karena pemahaman yang sepotong-potong dan kemampuan komunikasi publik yang kurang memadai.
“Kondisinya seperti lalu lintas di Bunderan HI Jakarta, ketika lampu ‘bangjo’ mati. Lebih ruwet lagi ketika persoalan itu ‘digoreng’ dengan dikait-kaitkan agenda Pilpres 2024,” kata Prof Didiek dalam siaran pers, Minggu (9/1/22).
Peneliti profesional di Puslit Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia itu melihat ada
‘boikot terselubung’ dari sebagian Kementerian/Lembaga yang divisi litbangnya harus diserahkan ke BRIN. Mereka berat melepas aset yang sudah dibina puluhan tahun, meski sebenarnya itu adalah aset milik negara.
“Situasi itu menambah gelap bayangan para peneliti (sekarang disebut periset), ketika pilihan pindah ke BRIN diserahkan kepada masing-masing peneliti,” katanya.
Hal itu dinilai tidak masuk akal, karena periset diminta pindah meninggalkan satminkalnya tanpa dibekali fasilitas yang dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya. “Jadilah implementasi dari kebijakan ini tersandra oleh sikap ego-sektoral, yang kalo di depan Presiden manggut-manggut tanda setuju, tapi di belakang masih pegang kuat ekornya,” ujarnya.
Sejatinya, lanjut Prof Didiek, jika mau melihat kembali sejarah pembentukan lembaga riset seperti BPPT, LIPI, BATAN dan LAPAN hingga berada dibawah kelola Kementerian Negara Riset dan Teknologi oleh Prof BJ Habibie. Kondisinya tak jauh berbeda dengan BRIN saat ini.
Yang membedakan, menurut Prof Didiek, hanya strateginya. Kesamaannya adalah menggunakan ‘budget policy’ sebagai instrumen dalam mengelola lembaga riset nasional yang dulu disebut Lembaga Penelitian Non-Departemen (LPND) tersebut.
“Dulu pelaksanaannya tidak mulus karena konseptornya berjalan sendiri, lantaran kedekatannya dengan Presiden saat itu. Padahal, kuncinya ada di Bendahara Negara. Karena itu, BRIN saat ini sudah memasukan Menteri Keuangan dalam jajaran sebagai salah satu Wakil Ketua Dewan Pengarah BRIN.
“Di BRIN, ‘budget policy’ diterapkan secara tegas. Jika masih ingin melakukan riset dan inovasi, gabunglah ke BRIN. Para peneliti bisa menggunakan sumber dana APBN. Tentunya harus diberi fasilitas pendukungnya, tak hanya orang semata,” ucapnya.
Namun kenyataannya, kementerian lebih memilih melebur semua tenaga dan fasilitas riset ke fungsi lain selain riset, asalkan aset tak keluar dari penguasaan. “Pikiran seperti ini tentu sangat menyedihkan bagi masyakarat ilmiah,” ucap Prof Didiek menegaskan.
Ditambahkan, dunia peradilan dikenal bahwa hukum itu buta dalam pengertian tidak melihat siapa, tetapi murni menegakkan keadilan. Tetapi di dunia ilmiah, dikenal istilah keahlian yang bersifat umum yaitu generalis, dan yang sangat terfokus yaitu spesialis.
“Ini bukan mau membandingkan yang satu lebih baik dari yang lain, tetapi untuk melihat karakter dari insan-insan akademik dalam dua kelompok tersebut,” ujarnya..
Seorang generalis akan melihat konteks keberadaan BRIN sebagai ikhtiar untuk menghindari hal yang tumpang-tindih, tak taat hukum, dan ‘doing business as usual’, sehingga menimbulkan kontra-produktif, mubazir, dan going nowhere.
“Tentu ada ‘trade-offs’ yang sudah diperkirakan sebelumnya. Karena tidak mungkin sebuah kebijakan dapat memuaskan semua pihak. Yang perlu diupayakan adalah pengorbanan yang paling minimal untuk mencapai hasil yang paling maksimal,” ucapnya.
Sebaliknya, ilmuwan yang spesialis melihat persoalan sangat fokus sesuai dengan minatnya, sehingga kadang menisbikan faktor-faktor lain di luar keilmuannya yang juga berperan mempengaruhi fenomena yang dilihatnya.
“Ibarat memakai kacamata kuda, yang dilihat adalah linier ke depan, sesuai tuntutan keahliannya. Sedangkan ilmuwan yang ahli di bidangnya kurang mampu melihat cakrawala lebih dalam, sehingga bisa terkena sindrom ‘kebutaan ilmiah’. Karena itu, sebagai periset profesional, saya boleh salah, tetapi tidak boleh bohong,” tuturnya.
Soal kisruh di Lembaga Biologi Molekuler Eikman (LBME), Prof Didiek yang pernah aktif di Kementerian Negara Ristek pada 2000-2003 menjelaskan, LBME pada awalnya dikelola Kemeneg Ristek dengan memanfaatkan aset milik RSCM. Perjalanan sekitar 30-an tahun tentu membuat pihak-pihak tertentu merasa sebagai hal yang wajar dan legal.
Kerena didukung dana APBN, maka BRIN melihat LBME ini statusnya belum sebagai institusi resmi (permanen). Karena itu, kondisinya disesuaikan aturan hukum yang berlaku. Tetapi hal itu mendadak dianggap sebagai ancaman rusaknya tatanan pembangunan dunia ilmiah kita.
“Tentunya BRIN telah melakukan kajian-panjang dan mendalam serta memikirkan solusi untuk meminimalisir dampak dari penertiban ini. Seperti yang disampaikan Kepala BRIN, ada beberapa opsi untuk rekrutmen tenaga periset LBME ke dalam tatanan baru BRIN,” ujarnya.
Karena opsi yang ditawarkan butuh waktu lama, sementara para periset kontrak butuh penghasilan, maka bisa dimaklumi jika mereka memilih meninggalkan LBME. Padahal mereka sedang menyelesaikan kegiatan riset strategis termasuk pengembangan vaksin Merah Putih.
“Penyelesaian status karyawan periset di LBME dapat memanfaatkan posisi LBME di RSCM yang berstatus Badan Layanan Umum (BLU). Maka LBME dapat diakuisisi BLU RSCM dengan target utama pengembangan produk atau metode medis berbasis bioteknologi, termasuk vaksin dan obat-obatan penting,” katanya.
Kelak, lanjut Prof Didiek, ketika BRIN sudah siap mengelola periset non-ASN, maka LBME dapat dipisahkan dari BLU RSCM dan berdiri sendiri sebagai organisasi riset tersendiri secara sah dan legal masuk di dalam konstelasi BRIN. (Tri Wahyuni)