JAKARTA (Suara Karya): Kewajiban sertifikasi halal produk yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 bertujuan untuk melindungi konsumen, sekaligus kemudahan bagi pelaku usaha. Dan bukan sebaliknya!
Hal itu ditegaskan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Haikal Hasan kepada media, di Jakarta, Selasa (29/10/24).
Dalam UU No 33 Tahun 2014 Pasal 4 disebutkan, seluruh produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, dengan batasan dan ketentuan yang jelas.
“Bagi konsumen, sertifikasi halal produk memberi mereka kepastian hukum dan keterjaminan produk halal yang dibutuhkan. Sedangkan produsen dipermudah dalam menghasilkan produk berkualitas, dan bernilai tambah karena sudah berstandar halal,” kata pria yang akrab dipanggil Babe Haikal tersebut.
Lewat semangat menghadirkan kemudahan itulah, lanjut Haikal, penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH) oleh Pemerintah juga mempertimbangkan berbagai aspek teknis. Tujuannya, agar implementasi kewajiban sertifikasi halal terlaksana tanpa menimbulkan kesulitan bagi dunia usaha.
“Pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal diterapkan pada produk dengan batasan-batasan yang sangat jelas,” ucapnya.
Untuk produk, menurut Pasal 1 UU No 33 Tahun 2014 menyebutkan, barang atau jasa yang terkait makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sedangkan jasa meliputi penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan atau penyajian.
“Jadi keliru, jika ada yang bilang kalau laptop dan semacamnya perlu disertifikasi halal. Itu penafsiran yang tidak benar,” katanya.
Haikal mengingatkan, UU No 33 Tahun 2014 menegaskan pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan tidak halal atau non halal tentu dikecualikan dari mengajukan sertifikat halal.
“Konsumsi produk itu pilihan. Yang halal boleh beredar dengan bersertifikat halal. Yang non halal juga boleh beredar asalkan mencantumkan keterangan tidak halal,” lanjut Haikal.
Ia menjelaskan, aspek kemudahan sertifikasi halal selanjutnya prosesnya dilaksanakan secara bertahap. Pasal 160 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 menyebutkan, penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan itu dimulai 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024.
“Artinya, terhitung mulai 18 Oktober 2024, ketiga kelompok produk tersebut wajib bersertifikat halal. Kalau tidak, siap-siap terkena sanksi administratif berupa peringatan tertulis.atau penarikan produk dari peredaran,” tuturnya.
Bagi pelaku usaha mikro dan kecil, penahapan kewajiban bersertifikat halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan mulai 17 Oktober 2019 hingga17 Oktober 2026.
Sedangkan kewajiban bersertifikat halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan yang berasal dari luar negeri ditetapkan Menteri paling lambat 17 Oktober 2026, setelah mempertimbangkan penyelesaian kerja sama saling pengakuan sertifikat halal.
“BPJPH juga terus mengedukasi pelaku usaha yang produknya wajib bersertifikat halal, agar melaksanakan sertifikasi halal dengan penuh kesadaran,” katanya.
Haikal meminta agar sertifikasi halal tidak dijadikan sebagai beban, pemenuhan kewajiban regulasi, atau persoalan administratif saja. Apalagi saat ini kesadaran konsumen atas preferensi produk halal semakin tinggi.
Untuk pengajuan sertifikasi halal, dapat dilakukan melalui ptsp.halal.go.id. Untuk informasi lebih lanjut terkait pengajuan sertifikat halal, pelaku usaha dapat mengakses website halal.go.id atau melalui akun resmi media sosial BPJPH.
“Jadikanlah sertifikat halal sebagai nilai tambah untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk. Hal itu juga bisa memperluas jangkauan marketnya. Jangan sampai produk halal kita kalah bersaing dengan produk halal dari negara lain,” kata Haikal menandaskan. (Tri Wahyuni)