MEDAN (Suara Karya): Masih terasa melekat dalam ingatan masyarakat olahraga di Tanah Air, Pesta Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh – Sumut berakhir 20 September 2024. Suka dan duka serta dinamika yang terjadi selama PON bergulir menjadi catatan sejarah bagi, atlet, pelatih, ofisial dan para stake holder olahraga di Indonesia.
Pekan olahraga yang ditutup secara resmi dalam seremonial malam pesta olahraga di Stadion Utama Sumatra Utara, Deli Serdang oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, tampil dengan gembiraan kontingen Jawa Barat membuat “Hattrick” Juara umum yang ketiga kalinya di PON Sejak tahun 2016 di Jabar.
Jawa Barat sukses menjadi juara umum, di PON XXI Aceh -Sumut 2024 setelah mengoleksi 195 medali emas, 163 perak, dan 182 perunggu. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi kontingen DKI Jakarta yang berada ditempat kedua dengan mengumpulkan 184 medali emas, 150 perak dan 145 medali perunggu.
Ketinggalan 11 medali emas atas kontingen Jabar tentunya cukup menyakitkan yang dialami kontingen DKI Jakarta. Namun semua itu akan menyadarkan para stakeholder KONI DKI Jakarta yang terlalu percaya diri untuk mengambil alih tongkat estafet yang dipegang kontingen Jabar karena tidak tampil di kandang sendiri.
Bahkan KONI DKI Jakarta dalam segi pembinaan tidak pernah atau menghapus yang namanya Pekan Olahraga Kota (PORKOT) maupun Pekan Olahraga Provinsi (PORPROV) sebagai ajang pembibitan dan pembinaan atlet di wilayah DKI Jakarta.
Sementara Jabar ajang pembibitan dan pembinaan atlet melalui akar rumput dari level bawah digelar rutin setiap dua tahun sekali. Melalui pembibitan dan pembinaan atlet yang berjenjang, jangan disalahkan bila Jabar tampil all out dan eksis untuk meraih juara umum yang ketiga kalinya di PON XXI Aceh – Sumut 2024.
Bila melihat keberhasilan Jabar dan sudah dibuktikan ketiga kalinya sebagai juara umum, bisa meyakinkan Jabar bukan juara “Kandang”. Kondisi seperti itu harus diperhatikan terhadap pembinaan atlet di DKI Jakarta agar mengikuti jejak Jabar yang tidak pernah meninggalkan PORKOT maupun PORPROV nantinya.
Bila dalam penyelenggaraan PORKOT maupun PORPROV KONI DKI Jakarta selalu meributkan anggaran penyelenggaraan, kanapa daerah lain bisa. Padahal dipantau dari segi APBD DKI Jakarta dirasakan cukup besar dibanding daerah lain.
Hal semacam itu tentunya menjadi tanda tanya, mau diapakan pembinaan atlet di DKI Jakarta. Bila tidak makukan perubahan dan perombakan besar – besaran.
Kendati DKI Jakarta sudah tidak lagi menjadi ibu kota Indonesia, namun sebagai kota Metropolitan terasa malu menjadi warga Jakarta, bila juara umum PON diera tahun 2012 san kebawah DKI Jakarta selalu menjadi juara umum, kini sudah tinggal kenangan.
Semoga kedepannya para technokrat olahraga di DKI Jakarta, khususnya KONI DKI harus berbenah untuk mencari solusinya, agar DKI Jakarta yang dulunya menjadi barometer prestasi atlet olahraga di Indonesia tidak hanya dalam kenangan belaka.
Apalagi daerah lain juga berpacu meningkatkan prestasi para atletnya seperti Jawa Timur yang menduduki posisi ketiga mengantongi 146 medali emas, 136 perak dan 143 medali perunggu.
Diikuti tuan rumah Sumut yang mengumpulkan 79 medali emas, 59 perak dan 116 medali perunggu. Posisi kelima Jateng dengan 71 medali emas, 74 perak dan 115 medali perunggu. Sedang tuan rumah Aceh mengumpulkan 65 medali emas 48 perak dan 79 medali perunggu berada ditempat keenam.
Melalui persaingan ketat itulah yang menjadi pertanyaan mungkinkan kontingen DKI Jakarta bisa merebut kembali juara umum di PON XXII tahun 2028 di NTT dan NTB. Atau malah sebaliknya, bisa terkejar lawan kontingen Jatim bila tidak ada perubahan yang signifikan. (Warso)